Kasus uang palsu kembali meresahkan masyarakat. Kali ini tidak hanya jumlah cetakannya yang masif, tetapi lokasi pencetakan dan pelakunya yang cukup mengagetkan. Diduga lokasinya berada di sebuah perpustakaan universitas negeri yang diotaki oleh kepala perpustakaan.
Sekian tahun lalu, hal mengejutkan serupa pernah terjadi. Saat itu, pencetakan diduga berada di laboratorium sebuah lembaga pemerintah, yang bertugas mengkoordibasikan pemberantasan uang palsu. Pelakunya beberapa oknum lembaga itu.
Kasus Rupiah palsu memang bukan hal baru. Setiap kejadian yang terungkap biasanya menyedot banyak perhatian. Itu tidak terlepas dari dampaknya yang langsung menyasar keseharian masyarakat. Ya karena uang adalah alat utama penggerak aktivitas ekonomi, untuk menyambung hidup.
Rupiah palsu yang terlanjur beredar tentunya tidak mudah dilacak. Seberapa banyak dan luas penyebarannya juga sulit diukur. Yang jelas, impaknya sangat merugikan masyarakat.Â
Ancaman pidana terkait Rupiah palsu sebetulnya cukup berat, sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Di situ disebutkan adanya pidana penjara hingga seumur hidup dan denda mencapai milyaran Rupiah, tergantung jenis kejahatannya. Beragam perbuatan yang dijerat antara lain memalsu, menyimpan, mengedarkan, dll.
Selain ancaman pidana, pengamanan fisik Rupiah boleh dikatakan sudah canggih. Bank Indonesia, sebagai otoritas pengedaran uang, telah menempatkan benang pengaman, gambar tersembunyi, gambar saling isi, tanda air, dan sebagainya. Fitur pengamanan itu tentunya dipasang dengan teknologi tinggi pula. Dengan demikian, pihak lain sulit untuk mencetak uang yang identik.
Dari sisi kelembagaan, pemberantasan uang palsu tidak dilakukan satu lembaga, namun melalui kerja sama berbagai lembaga strategis yang tergabung dalam Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu. Mereka yang tergabung yaitu Badan Intelijen Negara, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia.
Boleh dikatakan, sudah komplit upaya pencegahan kejahatan uang palsu. Namun, masih ada saja pihak tak bertanggung jawab yang melakukannya. Dari situlah, peningkatan kewaspadaan masyarakat diperlukan. Kemampuan mendeteksi Rupiah palsu sangatlah dibutuhkan. Untuk dapat melakukannya, maka terlebih dahulu penting mengenali Rupiah asli.
Upaya mengenalinya memang lebih akurat jika menggunakan perangkat khusus. Akan tetapi, dalam aktivitas sehari-hari tentunya cara itu merepotkan. Jadi, yang terbaik adalah memanfaatkan indra kita sendiri yaitu dengan dilihat, diraba, dan diterawang.
Mengutip laman Bank Indonesia, unsur pengaman yang dapat dilihat adalah adanya benang pengaman dan gambar tersembunyi. Lalu, saat diraba terasa kasar karena ada kode tuna netra. Pada bagian tertentu dari gambar sebenarnya juga bisa terasa kasar. Terakhir, saat diterawang terdapat gambar saling isi dan tanda air.
Kondisi Rawan
Dalam kondisi tertentu, kehati-hatian mengenali keaslian Rupiah bisa terbaikan atau sulit dilakukan. Misalkan, saat transaksi dengan nilai besar yang mengharuskan penyerahan berlembar-lembar uang. Atau, saat pencahayaan kurang, seperti transaksi pada malam hari.
Perilaku transaksi tertentu juga perlu diperhatikan. Contohnya, ketika transaksi dengan nilai kecil, jika ada pembeli memaksakan membayar dengan uang pecahan besar, penjual sebaiknya berhati-hati. Perlu diketahui, umumnya Rupiah yang dipalsukan adalah uang pecahan besar, yakni seratus ribu dan lima puluh ribu.
Dengan maraknya pembayaran menggunakan QRIS, yang bisa merambah dari sektor ekonomi besar hingga mikro, maka ruang gerak pengedaran uang palsu sebenarnya sudah dipersempit. Ada kemungkinan pelaku melancarkan aksinya di kawasan yang belum tersentuh fasilitas pembayaran non tunai, seperti di warung, pasar tradisional, atau kawasan yang masih mengutamakan pembayaran tunai.
Kejahatan  "Luar Biasa"
Entahlah, pernah terpikir atau tidak oleh pelaku, jika yang menjadi korban adalah para pedagang kecil, yang penghasilan harian mereka tidak seberapa. Apabila dari yang sekedarnya itu saja ternyata uang palsu, maka bisa jadi mereka tidak makan dihari itu, tidak mampu menghidupi keluarganya.
Memang, kejahatan uang palsu ini bukan termasuk pidana luar biasa, sepertihalnya terorisme atau narkotika. Namun  ketika korbannya adalah masyarakat kelas bawah, maka itu sangat berdampak bagi kehidupan mereka.
Peran Masyarakat
Selain penyebarannya yang sulit dideteksi, beberapa kasus pemalsuan uang diduga sindikat lintas negara. Jadi, memang menjadi tantangan besar bagi pemerintah, otoritas, dan aparat penegak hukum untuk mengatasi kasus dimaksud.
Salah satu cara yang efektif adalah percepatan digitalisasi keuangan, mendorong transaksi non tunai. Namun, cara itu masih membutuhkan waktu, mustahil dengan serta semua transaksi di-non tunai kan.Â
Dari situlah maka ada upaya yang tidak kalah efektifnya, peran masyarakat. Keaktifan mereka melaporkan kepada aparat jika menemukan Rupiah palsu bisa mempercepat gerak aparat memutus rantai sindikat.Â
Bagaimanapun, masyarakat sebagai pengguna akhir Rupiah, menjadi benteng terakhir untuk menangkal kejahatan uang palsu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H