Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Urgensi Edukasi QRIS

22 Desember 2024   07:24 Diperbarui: 22 Desember 2024   07:24 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Warganet kembali ramai membicarakan munculnya Quick Response Code Indonesia Standart (QRIS) palsu. Sebelumnya, pelaku menggunakan modus memasang QRIS di tempat ibadah. QRIS tersebut terdaftar atas nama pelaku bukan tempat ibadah. Akibatnya, dana akan masuk ke rekening pelaku. 

Berbeda dengan modus yang belakangan muncul. Mengutip Kompas.com, saat dipindai, QR akan menampilkan link, yang jika di-klik akan mengarahkan pengguna untuk mengisi formulir data pribadi berupa username, password, dan PIN.

Memahami modus itu, QR code yang dipindai sebetulnya bukanlah QRIS. Ada beberapa alasannya, pertama, QR code tidak selalu identik dengan QRIS. Sekarang banyak QR code yang disediakan untuk memudahkan pengguna terhubung dengan suatu link. Pemindaiannya melalui fitur yang tersedia di smartphone, tanpa menggunakan aplikasi tertentu.

Kedua, QRIS hanya bisa dipindai dari aplikasi khusus, misalnya e-wallet atau mobile banking. Secara otomatis, hasil pemindaian adalah nominal pembayaran, bukan link website atau permintaan data pribadi. 

Mudah membedakannya, bagi yang sudah paham. Jika ada korban dari modus-modus itu, berarti ada masyarakat yang sudah menggunakan QRIS, namun mungkin belum memahami sepenuhnya teknologi tersebut. Kondisi itulah yang menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan. Dari situ, edukasi mengenai QRIS merupakan hal yang sangat penting.

Digitalisasi dan Self Service

Sejak industri keuangan, terutama perbankan, mengembangkan layanan mandiri, sepertihalnya layanan tarik setor sendiri menggunakan ATM, pelaku kejahatan pun terus mengembangkan modus memanfaatkan kelemahan pengguna. Card trapping atau skimming, modus yang umum digunakan di mesin ATM,  menggunakan kelengahan nasabah saat bertransaksi di mesin. 

Lalu, berkembang lagi layanan mandiri berbasis digital, dari pembukaan rekening hingga berbagai proses transaksi, dilakukan sendiri melalui aplikasi. Kejahatan pun dilancarkan melalui jalur siber. Serangan siber ditujukan untuk membobol dana atau mencuri data.

Kejahatan rentan terjadi pada self service karena proses transaksi dilakukan sendiri oleh penggunanya, tanpa dibantu perantara semacam petugas bank. Jadi, ketika terjadi kejanggalan saat transaksi, pengguna mungkin tidak menyadari dan tidak ada yang mengingatkan. Celah itulah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan.

Urgensi Edukasi

Penyedia jasa pembayaran, baik bank maupun non-bank sulit untuk selalu memastikan transaksi yang dilakukan aman. Mengingat, pengguna jasa bisa menjadi korban karena kelengahan atau kelalaiannya sendiri. Untuk mengatasi itu, mengambil langkah preventif adalah yang terbaik. 

Pencegahan tidak sekedar memperkuat pengamanan siber, namun juga dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat. Edukasi dalam ekosistem ekonomi digital sudah menjadi hal krusial. Transaksi digital sudah semakin memasyarakat. Artinya, penggunanya tidak lagi eksklusif atau terbatas pada kalangan tertentu, tetapi telah menjangkau segala kalangan. Apalagi sejak diperkenalkannya QRIS lima tahun silam, siapapun dengan mudah dapat melakukan dan menerima pembayaran digital.

Berbeda dengan instrumem non tunai lainnya, pedagang harus menyediakan tambahan perangkat pembaca kartu, yang umumnya dimiliki usaha menengah ke atas, QRIS bisa tanpa banyak perangkat jadi usaha mikro pun dapat menyediakannya. Selain itu, QRIS juga bisa memproses transaksi dengan nominal kecil hingga serupiah. Fitur QRIS terus bertambah, seperti tarik setor tunai dan transaksi antar negara.

Dengan berbagai kemudahan itu, pengguna QRIS pun kian meningkat. Volume transaksi juga tumbuh berlipat. Lalu, nampak mulai terjadi pergeseran pilihan transaksi non-tunai dari kartu debit atau ATM, yang sebelumnya paling populer, ke QRIS. Transaksi berbasis kartu tersebut menunjukkan trend penurunan. Pergerakan itu bisa dilihat dari data Bank Indonesia.

Bisa disimpulkan bahwa penggunaan QRIS telah meluas. Pengguna baru pun terus bertambah. Dari situlah ada kemungkinan para pengguna baru, atau malah termasuk sebagian pengguna lama, belum memahami sepenuhnya seluk beluk QRIS. Mereka itulah yang rentan menjadi korban kejahatan.

Di tengah antusiasme pemanfaatan QRIS, edukasi perlu menyertai. Dengan adanya pemahaman yang baik, pengguna diharapkan bisa mengoptimalkan proteksi diri. Secanggih apapun teknologi yang disediakan penyedia jasa pembayaran, titik lemah dari sisi pengguna masihlah ada. Kelemahan itu bisa diatasi ketika mereka telah memahami betul aktivitas yang dilakukan.

Kewajiban Edukasi

Edukasi merupakan bagian yang melekat pada pelindungan konsumen. Bisa diartikan, aktivitas tersebut sudah menjadi suatu kewajiban. Undang-undang mengenai pengembangan dan penguatan sektor jasa keuangan serta Peraturan Bank Indonesia mengenai pelindungan konsumen secara eksplisit sudah memerintahkannya. 

Siapakah yang wajib melakukan edukasi? Tentunya adalah para penyedia jasa pembayaran. Mereka adalah bank atau lembaga selain bank yang menyediakan jasa untuk memfasilitasi transaksi pembayaran. Dalam praktiknya, mereka tidaklah dilepaskan sendiri, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran juga proaktif melakukan edukasi. 

Namun, optimalisasi edukasi belum cukup jika sebatas mengandalkan peran otoritas dan industri. Peran masyarakat sebagai pengguna untuk mau mengedukasi diri juga diharapkan ada. Kemauan mereka membaca dan memahami produk dan jasa pembayaran yang digunakan tidak kalah pentingnya.

Untuk menyukseskan itu maka perlu ketepatan memilih instrumen edukasi yang digunakan. Instrumen tersebut haruslah adaptif, sesuai dengan kondisi saat ini. Contohnya, edukasi melalui kanal digital, semacam pemanfaatan media sosial yang melibatkan influencer, akan lebih efektif dibandingkan iklan besar di koran atau sekedar leaflet. Masyarat saat ini lebih banyak berinteraksi dengan media digital ketimbang media kertas.

Merangkum semua itu, kita bisa menilai bahwa QRIS secara bertahap sudah menjadi pilihan utama pembayaran non-tunai. Tingkat penerimaan masyarakat sudah tinggi. Itu menandakan mereka telah masuk dalam ekosistem ekonomi digital. Ekosistem yang aman pun sudah menjadi kebutuhan, agar mereka tetap nyaman di dalamnya. Pelindungan konsumen melalui edukasi menjadi salah satu cara menciptakan keamanan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun