Untuk melumpuhkan perekonomian suatu bangsa, bisa jadi cukup melumpuhkan sistem keuangannya. Pernyataan itu mungkin berlebihan pada saat ini. Namun, diwaktu mendatang, rasanya tidak mustahil, seiring makin terdigitalisasinya ekosistem keuangan.
Beragam inovasi layanan keuangan berbasis digital terus bermunculan. Yang masih konvensional pun ditransformasikan menjadi virtual. Regulator maupun industri memang terus mendorong digitalisasi. Alhasil, pertumbuhannya pun makin subur. Setali tiga uang, masifnya digitalisasi diiringi tingginya risiko siber.
Siber dan Keuangan
Jumlah serangan siber hampir dua kali lipat sejak pandemi. Sektor keuangan menjadi sasaran utama serangan tersebut. Hampir seperlima dari insiden berdampak pada perusahaan keuangan. Bank merupakan target yang paling sering diincar. Meskipun dampaknya tidak sistemik, insiden pada institusi keuangan besar dapat mengancam stabilitas keuangan makro. Hal itu dikarenakan hilangnya kepercayaan, disrupsi layanan kritikal, dan tidak terhubungnya teknologi dan keuangan. Itulah kutipan kajian International Monetary Fund (IMF) dalam Global Financial Stability Report 2024.Â
Kajian IMF juga menyebutkan bahwa meningkatnya konektivitas saat pembatasan fisik, meningkatkan pula ketergantungan pada teknologi dan inovasi keuangan. Kondisi itu diduga berkorelasi dengan peningkatan serangan siber.
Serangan siber yang masif sudah sekian kali terjadi, sebut saja cyber heist Bangladesh Bank yang menyebabkan kerugian USD101 juta, atau serangan siber pada The central Bank of Lesotho yang sempat melumpuhkan sistem pembayaran nasionalnya. Di Indonesia, terhentinya layanan Bank Syariah Indonesia selama hampir seminggu diduga juga akibat serangan siber.Â
Sektor keuangan memang sasaran yang menarik. Tidak hanya karena potensi dana yang besar, tetapi juga penguasaan informasi sensitif pemilik dana. Informasi yang mempunyai nilai tinggi untuk di monetisasi.
Solusi Regulasi
Salah satu yang disoroti IMF dalam kajiannya ialah kurangnya kerangka kebijakan keamanan siber pada negara-negara berkembang. Dari 74 negara yang disurvei, kurang dari separuhnya yang telah memiliki strategi nasional yang fokus pada pengamanan siber.Â
Bagaimana dengan Indonesia?Â
Dalam beberapa pasal UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, diatur mengenai keamanan sistem informasi dan ketahanan siber dalam sektor keuangan.Â
Lebih spesifik, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas sistem pembayaran telah menerbitkan Peraturan BI No. 2 tahun 2024 tentang Keamanan Sistem Informasi dan Ketahanan Siber Bagi Penyelenggara Sistem Pembayaran, Pelaku Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, Serta Pihak Lain yang Diatur dan Diawasi Bank Indonesia.
Ruang lingkup aturan tersebut luas mencakup tata kelola, pencegahan, penanganan, pengawasan, dan kolaborasi. Pengamanan siber memang merupakan rangkaian panjang.Â
Diawali dengan tata kelola berupa penerapan strategi, kebijakan, dan budaya. Lalu, ada pengawasan yang meliputi identifikasi, proteksi, dan deteksi. Dalam hal terjadi insiden, terdapat langkah penanganan berupa respon dan pemulihan.Â
Kemudian, untuk memastikan kepatuhan industri, diatur juga pengawasan oleh BI dan penyampaian data atau informasi penyelenggara kepada BI. Terakhir, guna memperkuat pengamanan siber, BI bersama penyelenggara berkolaborasi dalam pertukaran informasi dan pencegahan insiden.
Dari situ dapat dinilai bahwa pengamanan siber pada sistem pembayaran di Indonesia, dari aspek penyediaan regulasi, sudah kuat. Tentunya, keberadaan regulasi masih harus diperkuat dengan penegakan penerapan.
Digital yang Membudaya
Pelaku industri, terutama penyedia jasa pembayaran, wajib mengedepankan pengamanan siber. Aktivitas transaksi digital terus meningkat setiap waktu.Â
Data BI pada Agustus 2024 menunjukkan transaksi digital banking tercatat 1.87 milyar transaksi atau tumbuh sebesar 31,11% (yoy), sementara transaksi Uang Elektronik tumbuh 21,53% (yoy) mencapai 1.25 milyar transaksi. Lalu, transaksi QRIS terus tumbuh pesat sebesar 217,33% (yoy), dengan jumlah pengguna mencapai 52,55 juta dan jumlah merchant 33,77 juta.
Semakin tingginya aktivitas transaksi digital, menunjukkan makin membudayanya aktivitas ekonomi berbasis teknologi. Penggunanya pun semakin banyak.Â
Di satu sisi, industri keuangan memperoleh momentum emas saat ini hingga waktu mendatang. Perekonomian bergerak jauh lebih cepat dibandingkan era konvensional. Yang artinya, terwujudnya kesejahteraan masyarakat pun diharapkan kian cepat.Â
Di sisi lain, industri keuangan memikul tanggung jawab yang berat. Mereka harus mampu menjaga kepercayaan masyarakat yang semakin tergantung pada transaksi digital.Â
Serius mengurus siber bukan lagi keharusan, tapi kebutuhan. Tujuannya tidak lain untuk mewujudkan kemudahan, keandalan, dan keamanan yang berjalan beriringan di lingkungan ekosistem keuangan digital.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H