Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Di Balik yang Murah, Ada yang Diperah

31 Agustus 2024   13:54 Diperbarui: 1 September 2024   05:55 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pengemudi ojek online (ojol) terkejut ketika mengetahui upah yang dia terima hanya beberapa ribu rupiah, setelah pengantaran makanan selesai. Dia nampak geram dengan penyedia aplikasi, yang menurutnya memberikan upah terlalu murah.

Itulah pengalaman saya tahun lalu, setelah memesan makan melalui sebuah aplikasi. Saya ingat, memang aplikasi menampilkan promo ongkos kirim yang sangat murah. Yang tentunya, amat menarik bagi para konsumen. Tentu saya, atau mungkin sebagian besar konsumen, tidak mengetahui bagaimana mekanisme bagi hasil antara penyedia dengan mitra pengemudinya.

Beberapa hari lalu, Jakarta dan kabarnya beberapa kota besar lainnya, kembali diramaikan demo pengemudi ojol. Peristiwa serupa sudah sekian kali terjadi.

Persoalan paling disorot kali ini adalah upah yang terlalu rendah. Masalah kecilnya upah itu juga dikeluhkan para kurir. Ya, bisnis ekspedisi memang sedang marak seiring trend belanja daring.  

Pudarnya Semangat Sosial 

Sejak munculnya transportasi daring, demo sudah berulangkali terjadi. Dulu, demo diawali dengan penolakan pengemudi konvensional terhadap kehadiran layanan berbasis digital. Ada lagi, demo ketidakseragaman perizinan kendaraan. Dan, yang berulang, persoalan kesejahteraan. 

Tarif murah ini merupakan daya tarik kuat transportasi online, selain kemudahan akses. Penyedia mampu menangkap naluri alamiah konsumen yang menyenangi sesuatu yang murah, atau bahkan gratisan.

Pada awal berdirinya perusahaan layanan online (transportasi, penginapan, jejaring sosial, dan lainnya), dalam bebagai wawancara dengan para pendirinya, umumnya mereka memberikan alasan yang mirip yakni memberikan kemudahan kepada masyarakat. Memang benar, kemunculan layanan daring itu menjawab kebutuhan masyarakat, yang dengan sendirinya membuat perusahaan cepat berkembang. 

Lalu, perkembangan pesat itu menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya. Makin lama, makin banyak investor menaruh dananya, apalagi ketika perusahaan go public. Baik struktur perusahaan maupun proses bisnis yang dijalankan pun menjadi semakin kompleks, seiring banyaknya penanam modal. 

Tuntutan perolehan keuntungan pun semakin tinggi. Kondisi itu mendorong perusahaan memutar otak untuk meraup keuntungan yang besar. Alhasil idealisme layanan sosial pun semakin luntur dengan semangat komersial. 

Belakangan, kita mendengar para pendiri perusahaan layanan digital telah meninggalkan perusahaannya. Hal itu bisa semakin mempengaruhi berkurangnya idealisme unsur sosial dalam perusahaan yang dibawa para pendirinya.

Yang Murah, Yang Diperah

Beberapa kali saya mendengar keluhan pengemudi online ketika menggunakan jasa mereka. Mirip, potongan biaya yang menurut mereka cukup besar. Kondisi itu mengharuskan mereka bekerja lebih lama, jika ingin mendapatkan penghasilan yang memadahi. Pernah juga, seorang pengemudi ojol di Jakarta mengungkapkan keresahannya karena baru menerima satu-dua pelanggan selama beberapa jam. Saat ini, kita bisa melihat berbagai ruas jalan utama di ibu kota hampir di "hijaukan". Maksudnya, jumlah ojol memang sangat banyak, yang berpengaruh pada persaingan perolehan order.

Kembali lagi pada kondisi perusahaan penyedia jasa saat ini. Tawaran tarif murah diakui merupakan daya tarik paling mumpuni guna menjaring pelanggan. Semakin banyak pelanggan, diharapkan semakin banyak pemasukan sehingga keuntungan meningkat. Perusahaan pun mampu menjawab tuntutan investor.

Mengenai para pengemudi yang merasa "diperah" karena dampak tarif "murah", belum lagi, hak-hak mereka yang merasa sebagai pekerja belum dituntaskan pemberi kerja, tentu perlu dilihat kembali kesepakatan antara keduanya. 

Kedudukan pengemudi dalam kesepakatan itu cenderung lebih lemah. Perusahaan mempunyai posisi tawar yang lebih kuat. Salah satunya karena lapangan kerja sebagai pengemudi ojol tidak memerlukan banyak syarat. Tidak seperti lowongan kerja lainnya, seperti pendidikan, usia, pengalaman, dan sebagainya. Kesempatan menjadi pengemudi ojol pun luas sehingga daya serap tenaga kerjanya besar. Dengan demikian, penyedia jasa mudah mencari mitra pengemudi. Sayangnya, di Indonesia tidak banyak pilihan penyedia jasa seperti itu. Artinya, bagi calon mitra sebenarnya tidak banyak pilihan perusahaan.

Balik lagi ke persoalan tarif, jika dari pengemudi mereka merasa kurang, menurut penyedia, persentase ongkos sudah diperhitungkan layak. Mana yang benar? lagi-lagi perlu dilihat skema perhitungan dalam perjanjiannya. Yang terpenting, perusahaan kudu melakukan komunikasi yang intensif dengan pengemudi terkait hal sensitif itu. Perubahan kebijakan yang tidak melibatkan mitra bisa berbuntut masalah.

Bisnis Beretika

Jika perusahaan ojol harus memenuhi tuntutan keuntungan dari investor, itu hal wajar. Akan tetapi, perusahaan juga wajib memperhatikan kepentingan pengemudi, mendengarkan keluh kesah, dan mempertimbangkan kepentingan mereka. Pastinya, itu sebuah tantangan besar bagi perusahaan ojol yang terlanjur memiliki sistem manajemen yang rumit.

Melihat kondisi saat ini, intervensi pemerintah sudah diperlukan. Penerbitan kebijakan, pengawasan penerapan, dan penegakan aturan perlu dilakukan secara kolektif. Sebagaimana disinggung sebelumnya, posisi pengemudi cenderung lebih lemah. Mereka memerlukan kehadiran negara untuk melindungi hak-haknya, yang rentan dilanggar pihak yang lebih kuat. 

Pemerintah dengan perangkat aturan yang dimiliki, penting untuk memastikan semua pihak telah menjalankan hak dan kewajibannya dengan benar. Bisnis yang beretika semestinya dikedepankan.

Pentingnya kehadiran negara juga mempertimbangkan peran perusahaan penyedia transportasi online yang mampu menyerap puluhan juta tenaga kerja. Keberadaan perusahaan tersebut patut diperhitungkan karena telah mempunyai dampak ekonomi dan sosial yang signifikan.

Menutup perusahaan bukan penyelesaian yang tepat, justru bakal menciptakan persoalan baru yakni penumpukan pengangguran. Solusi paling bijak, dari sisi pemerintah, penyedia jasa, dan pengemudi adalah ketika penyelesaian itu memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.

Harapan akhirnya, pengemudi sejahtera, perusahaan tetap solid, dan negara mampu menjamin kenyamanan masyarakatnya menikmati ekosistem ekonomi digital yang sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun