Keterbatasan edisi uang inilah yang sepertinya mendorong keinginan masyarakat untuk menyimpannya, ketimbang membelanjakannya. Dari situlah mungkin sebagian masyarakat memahami uang edisi khusus dimaksud diperuntukkan sebagai barang koleksi.
Selain itu, pencetakan yang terbatas menimbulkan konsekuensi uang yang beredar tidak banyak. Jumlahnya tidak sebanding dengan uang rupiah lain yang dicetak secara periodik.
Kelangkaan itu menjadikan sementara masyarakat nampak asing melihatnya. Akhirnya, mereka pun meragukan keabsahannya sebagai alat pembayaran.
Ringkasnya, keberadaan uang Rp75.000 untuk koleksi semata-mata adalah pilihan pemiliknya. Pecahan tersebut pada dasarnya tetaplah alat tukar yang sah sesuai amanat peraturan perundang-undangan.
Perlu diketahui, apabila suatu pecahan uang akan dicabut, BI akan menerbitkan PBI khusus mengenai pencabutannya. Hingga saat ini, pecahan Rp75.000 masih berlaku, yang ditandai dengan belum adanya aturan pencabutannya.
Menolak Rupiah
Rupiah wajib digunakan untuk setiap transaksi pembayaran di Indonesia. Barangsiapa menolaknya, bisa dikenakan pidana kurungan dan denda. Kewajiban itu dimuat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Saat penerapannya, pengenaan sanksi semacam itu tentu tidaklah secara serta merta, ada tahapan yang perlu dilakukan. Tahapan yang ada diantaranya himbauan secara persuasif atau edukasi yang berkelanjutan, kepada seluruh lapisan masyarakat.Â
Mereka yang menolak pembayaran uang Rp75.000 belum tentu mempunyai intensi menolak uang rupiah. Mereka mungkin sekedar belum tahu. Oleh karenanya, belum perlu aturan hukum ditegakkan, cukuplah aturan yang ada diberitahukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H