Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Berkurangnya Mesin ATM, Adakah yang Salah?

13 Juli 2024   20:13 Diperbarui: 23 Juli 2024   13:33 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mesin ATM. (Shutterstock/Sara_K)

Belakangan ini marak pemberitaan berkurangnya mesin ATM dan penutupan sejumlah kantor cabang bank. Banyak beredar analisis penyebabnya, diantaranya penghematan biaya operasional atau transformasi transaksi digital.

Pendapat yang terakhir cukup menarik, coba kita telaah sejauh mana digitalisasi membawa perubahan pada industri keuangan. 

Kehadiran Kemudahan

Ada kecenderungan orang untuk selalu mencari kemudahan. Pencarian itu pada akhirnya menghasilkan inovasi. Ingat, saat Wright bersaudara ingin memudahkan perjalanan, terciptalah pesawat terbang. 

Thomas Alva Edison hendak memudahkan cahaya buatan, dihasilkanlah lampu pijar. Alexander Graham Bell memimpikan kemudahan obrolan, terwujudlah telepon. Itulah sebagian contoh invensi yang diinisiasi keinginan menjalani hidup dengan lebih mudah.

Sama halnya dalam ekosistem pembayaran. Jika kita runut sejarahnya, manusia mengawalinya dengan barter. Satu pihak menyediakan barang tertentu untuk ditukar dengan barang milik pihak lain. Nampaknya, cara itu cukup merepotkan karena adanya potensi ketidaksesuaian nilai barang yang dipertukarkan. 

Hingga akhirnya, orang menciptakan alat tukar berupa uang. Diawali dari uang komoditas, berkembang ke uang logam hingga uang kertas. Uang digunakan sebagai alat bayar yang memudahkan penyetaraan nilai barang.

Seiring waktu, orang merasa memegang uang merepotkan dan ada risiko kehilangan. Lalu, terciptalah mekanisme pembayaran non tunai, ada transfer, pembayaran menggunakan kartu, hingga yang terkini, memanfaatkan gawai. 

Terkait pemanfaatan gawai, cara itu merupakan jawaban atas kebutuhan kemudahan pembayaran terkini. Sekarang, gawai merupakan perangkat yang melekat dalam keseharian manusia. Momentum pandemi lalu semakin menyuburkan ketergantungan pembayaran dengan perangkat genggam.

Ada yang Salah? 

Mengenai berkurangnya mesin ATM, perubahan perilaku masyarakat bisa jadi yang mengawalinya. Mereka yang merasa lebih nyaman bertransaksi atau memanfaatkan fitur layanan digital. 

Alhasil, frekuensi penarikan uang tunainya tentu akan berkurang. Kebutuhan berurusan dengan petugas bank secara langsung berangsur juga menurun. Industri pun pada akhirnya akan menyesuaikan strategi bisnisnya dengan trend yang ada. 

Trend menggambarkan kebutuhan pasar terkini. Untuk itulah, strategi pengurangan mesin ATM dan sebagian kantor adalah langkah yang lumrah, tidak ada yang salah.

Pilihan Pembayaran

Seorang Youtuber mengkritisi kemunculan QRIS sebagai penyebab turunnya jumlah mesin ATM. Dia juga nampak skeptis dengan pembentukan budaya masyarakat non tunai. Alasannya, menyulitkan para lanjut usia, banyaknya masyarakat masih belum memiliki smartphone, dan munculnya pengangguran akibat penutupan bank. Youtuber tersebut juga menyoroti potensi terjadinya pemborosan ketika transaksi dilakukan secara non-tunai.

Keraguan tersebut memang bisa muncul ketika masyarakat mulai memasuki ekosistem ekonomi yang baru. Namun, keraguan itu sebenarnya masih bisa dijawab.

Setiap munculnya instrumen pembayaran baru, sebetulnya tidak menghilangkan instrumen yang lama. Nyatanya, sistem barter masih diterapkan di daerah tertentu, sah saja selama ada kesepakatan. Pernah juga, Indonesia melakukan barter pesawat tempur dengan komoditas. 

Begitupun yang terjadi dengan uang tunai, ATM, dan pembayaran digital. Kehadiran instrumen pembayaran berbasis teknologi, seperti halnya QRIS, merupakan pilihan, tidak menggugurkan instrumen yang lain. Masyarakat dipersilakan memilih mana yang terjangkau, dipahami, dan nyaman menurut mereka.

Memang, sementara area mewajibkan transaksi non-tunai, sebut saja jalan tol, lokasi parkir tertentu, atau pembayaran layanan publik. Akan tetapi, pembatasan area semacam itu hingga saat ini belumlah banyak. Umumnya, masyarakat masih memiliki opsi dalam melakukan transaksi, tunai atau non-tunai. 

Selanjutnya, terkait pihak-pihak tertentu yang belum terjangkau pembayaran digital, sekali lagi, pilihan pembayaran tunai masih bisa dilakukan.

Meskipun digitalisasi terus dipacu, bank sentral masih terus mengedarkan uang kertas dan logam. Pemanfaatan uang jenis itu masih tinggi. Buktinya, data Bank Indonesia pada Mei 2024 menunjukkan bahwa uang kartal yang diedarkan meningkat 6,82 persen secara tahunan, sehingga menjadi Rp1.038,26 triliun. Jadi, tidak ada keraguan, kebutuhan masyarakat yang memilih pembayaran tunai masih bakal terpenuhi.

Terkait potensi pemborosan ketika pembayaran dilakukan secara nir-fisik, sebetulnya ketika transaksi dilakukan secara digital, masyarakat lebih mudah memantau saldo mereka melalui aplikasi. Dengan pembiasaan, secara bertahap pemanfaatan teknologi semacam itu justru membantu mereka mengendalikan pengeluarannya. 

Kebutuhan Kemudahan

"Banking is necessary, but banks are not," ucapan itu berasal dari Bill Gates, pendiri Microsoft, 3 dekade yang lalu.

Kembali pada isu mulai berkurangnya mesin ATM dan kantor bank, kondisi tersebut memang sudah diprediksi sejak lama. Sebagaimana lazimnya perubahan, hal baru yang menjawab kebutuhan manusia tentu akan lebih dipilih. Kebutuhan dimaksud lazimnya mengarah pada adanya kemudahan. 

Pergeseran kecenderungan gaya hidup dari transaksi tunai ke transaksi digital, rasanya sulit untuk ditahan. Masyarakat yang sudah nyaman dengan kemudahan teknologi itu bakal enggan kembali pada cara-cara lama. 

Keberlanjutan Perubahan 

Dulu, ketika mesin ATM muncul, aktivitas penarikan uang di bank berkurang. Begitupun ketika aktivitas transaksi cukup dengan gawai, penarikan uang melalui mesin ATM menurun, jumlah mesin ATM pun mulai menyusut. Entah ke depan, perubahan apalagi yang akan terjadi. 

Yang jelas, setiap perubahan ada konsekuensinya. Tidak ada yang salah dengan rangkaian peristiwa itu. Transisi dari tunai ke non-tunai akan terus berlanjut, dengan segala tantangan yang tersisa.

Bagi mereka yang masih bertahan dengan transaksi konvensional, instrumennya masih disediakan. Sembari, sebagian yang mampu dan bersedia, dapat beradaptasi terhadap perubahan yang ada.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan berkurangnya mesin ATM. Itu sekedar rangkaian keberlanjutan perubahan. Perubahan bisa terjadi karena masyarakat menerima pembaharuan kenyamanan, yakni transaksi digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun