Memprihatinkan, 4 juta orang Indonesia melakukan judi online (judol). 80 ribu diantaranya adalah usia di bawah 10 tahun, sesuai data Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Menyedihkan, judol telah merambah beragam kalangan, dari pelajar, ibu rumah tangga, profesional, pejabat, hingga politikus, sesuai data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Mencengangkan, melihat sisi finansialnya, PPATK mencatat terjadinya peningkatan signifikan nilai transaksi judol. Ketika 2017 masih sejumlah Rp2,1T, pada 2022 telah meroket menjadi Rp104T, dan terus melesat pada 2023 mencapai Rp327T.Â
Pada triwulan I-2024, sudah terakumulasi lebih dari Rp101T, sehingga diprediksi tahun ini bisa menembus Rp400T. Pejudi daring tersebut didominasi oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Angka Rupiah judol sebesar itu mustahil disepelekan. Jadi, tidak berlebihan jika sementara pihak menyebut Indonesia memasuki darurat judol.Â
Judol juga layak dianggap penyakit sosial yang kronis. Penularannya bisa merembet ke mana-mana. Dari pemicu kejahatan, rusaknya rumah tangga, hingga yang amat serius, menghancurkan perekonomian bangsa.
Judol, Ekonomi Jebol
Saya tertarik artikel Investor Daily berjudul Ekonomi Tergerus Judi Online. Singkatnya, harian itu menyoroti jika dana judol digelontorkan untuk konsumsi, efeknya untuk lertumbuhan ekonomi sangat dahsyat.
Coba kita buktikan analisis tersebut dengan melihat data perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2024 menunjukkan konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang utama produk domestik bruto (PDB), sekaligus menjadi sumber pertumbuhan tertinggi PDB menurut pengeluaran, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS).Â
Terkait hal itu, dana yang digunakan untuk judol meskipun merupakan pengeluaran, bukan bagian dari konsumsi rumah tangga. Artinya, seandainya dana ratusan triliun untuk judi itu dialihkan untuk konsumsi rumah tangga, maka kontribusinya untuk mendorong perekonomian cukup besar.
Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran PDB atas dasar harga berlaku triwulan I-2024 mencapai Rp5.288,3 T, sesuai rilis BPS. Hitungan kasarnya, dengan perputaran uang judol pada periode yang sama sebesar Rp101T, maka sama dengan 1,8 persen dari PDB tersebut.Â
Bisa disimpulkan, judol memang berpotensi menggerus perekonomian domestik.Â
Persoalan masih berlanjut. Jika dikaitkan dengan mayoritas penjudi online adalah masyarakat berpenghasilan rendah, maka potensi persoalan kemiskinan akan sulit diberantas. Malahan, angka kemiskinan bisa bertambah.
Kemiskinan merupakan pangkal berbagai persoalan, diantaranya kualitas gizi dan kesehatan yang tidak memadahi, serta tingkat pendidikan yang rendah. Persoalan-persoalan tersebut memicu terbentuknya sumber daya manusia yang tak berkualitas, yang rentan melanjutkan garis kemiskinan. Alhasil, terjadilah lingkaran setan kemiskinan.
Memutus Mata Rantai
Jika tidak segera ditangani, perputaran uang judol diperkirakan semakin membesar, mempertimbangkan trend tahunannya yang terus meningkat. Sebenarnya, tidak semata-mata persoalan nominal uang, dampak rembetan judol menjadi hal penting juga untuk diperhatikan.
Tidak ada pilihan lain kecuali memberantas keberadaan judol. Pemberantasan dimaksud memerlukan kolaborasi beragam elemen, melihat rantai bisnis judu daring yang memang panjang.
Dimulai dengan perputaran uang judol melalui perbankan dan penyedia jasa pembayaran, diantaranya dompet elektronik, maka sektor-sektor tersebut bisa menjadi garda terdepan pemberantasan.Â
Industri keuangan perlu memperkuat mekanisme pengenalan konsumennya. Dalam praktiknya, upaya itu kerap menimbulkan dilema bagi pelaku industri.Â
Ketika mereka mendorong kemudahan kepemilikan rekening atau akun, muncul konsekuensi kelonggaran dalam mengidentifikasi profil pengguna jasanya. Saat ini, marak pendaftaran rekening secara digital.Â
Tidak perlu interaksi tatap muka antara petugas bank dengan nasabah, cukup kirim foto diri dan kartu identitas. Kemudahan itu menjadi peluang pelaku kejahatan, diantaranya memalsukan identitas.
Menyikapi hal itu, kehadiran otoritas keuangan yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sangatlah krusial. Pengembangan dan penegakan aturan pencegahan pencucian uang menjadi amunisi ampuh untuk mematikan pergerakan kejahatan tersebut.
Selanjutnya, PPATK dapat terus mengembangkan analisisnya. Tujuannya, memperoleh data yang akurat, mutakhir, dan komprehensif terkait aliran dana judol. Saat ini, PPATK telah memetakan berbagai modus judol, diantaranya jual beli rekening untuk mengaburkan pemilik asli rekening bandar judol. Dengan trend yang terus meningkat, tidak menutup kemungkinan modus terus berkembang.
Selanjutnya, mengingat kewenangan PPATK sebatas memberikan hasil analisis kepada penyidik, maka tanggung jawab penyidiklah untuk menindaklanjuti analisis itu. Penyidik mempunyai kewenangan yang untuk memblokir rekening hingga menangkap pihak-pihak terkait judol.
Kementerian Komunikasi dan Informasi juga memiliki peran strategis. Institusi tersebut dapat bergerak dengan menutup situs-situs judol. Kecepatan mengidentifikasi dan mengambil tindakan terhadap situs judi menentukan kecepatan pengakhiran aktivitas haram tersebut.
Semua otoritas terkait itu perlu selalu menguatkan barisan. Kerja sama yang solid diperlukan untuk mencegah, membarantas, dan memutus mata rantai judol.
Terakhir, peran serta masyarakat merupakan elemen mendasar untuk mengakhiri judol. Pendekatan spiritual, perhatian keluarga, dan edukasi berkelanjutan merupakan cara-cara untuk menanamkan nilai moral yang baik. Nilai moral yang tertanam itu menjadi benteng diri untuk menolak godaan permainan judi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H