Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Layanan Bank dan Loyalitas Nasabah

23 Juni 2024   13:41 Diperbarui: 23 Juni 2024   18:08 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Petugas dari Bank BTN melayani penukaran uang di layanan kas keliling terpadu yang diselenggarakan Bank Indonesia bersama perbankan di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (28/3/2024). (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Industri perbankan nasional baru-baru ini diramaikan oleh pemberitaan rencana penarikan dana besar dari organisasi keagamaan ternama. Bank tempat menyimpan dana tersebut termasuk bank papan atas di negeri ini.

Alasan yang melatarbelakangi penarikan itu simpang siur. Muncul banyak spekulasi, dari yang mendasar yakni untuk pemerataan persaingan usaha, hingga yang bersifat politis seperti susunan kepengurusan perusahaan.

Terlepas apapun alasannya, dari aksi tersebut dapat dipetik pelajaran penting, monopoli industri perbankan dan loyalitas nasabah.

Pakto 88

Mundur ke belakang, pada Oktober 1988, Indonesia sedang menghadapi era booming perbankan dengan menjamurnya pembukaan bank-bank baru. Saat itu, muncul paket kebijakan yang memudahkan pembukaan bank atau disebut deregulasi. Diantaranya, setoran modal minimum untuk pembukaan bank umum hanya Rp10M.

Paket kebijakan itu dikenal dengan Paket Oktober 1988 atau Pakto 88. Tujuan yang paling terkemuka adalah upaya Indonesia mengongkrak perekonomian non migas melalui sektor perbankan. 

Memang, sektor migas ketika itu sedang melemah sehingga diperlukan dorongan ekonomi dari sumber lain. Dalam kondisi seperti itu, Pakto 88 memberikan dampak yang positif dalam beberapa tahun penerapannya. 

Mengutip tulisan Dahlan M. Sutalaksana, Evaluasi Empat Tahun Pakto, dampak kebijakan Pakto 88 adalah perkembangan yang pesat di bidang perbankan, antara lain tercermin dari perkembangan jumlah bank. 

Jumlah bank pada Desember 1988 adalah sebanyak 111, meningkat menjadi 216 pada Agustus 1992. Perkembangan pesat itu meningkatkan persaingan antar bank. Persaingan itu rupanya mendorong pula peningkatan jasa pelayanan dan produk perbankan.

Krisis Moneter 

Sayangnya, masifnya jumlah bank itu tidak diimbangi tata kelola yang baik, seperti penyalahgunaan penyaluran dana. Akhirnya, satu dekade kemudian, di tengah krisis moneter, belasan bank pun ditutup. 

Penutupan itu mampu mengurangi jumlah bank yang tidak sehat sehingga kestabilan ekonomi dan kepercayaan masyarakat pun terjaga. Syarat pembukaan dan pengawasan bank juga diperketat. Selain itu, terjadi merger beberapa bank, baik bank pemerintah maupun swasta.

Namun, dengan jumlah bank yang semakin berkurang, persaingan pun menurun sehingga potensi monopoli muncul.

Ketika kecenderungan ke arah monopoli semakin besar, maka semakin besar pula inefisiensi yang terjadi akibat menurunnya kompetisi. Namun, untuk dapat bersaing dengan perbankan global, diperlukan bank-bank yang besar, kokoh, dan stabil, yang umumnya diperoleh melalui proses merger dan akuisisi, tanpa mengorbankan penurunan tingkat kompetisi yang mungkin terjadi. Kesimpulan itu sebagaimana dirangkum dari penelitian Ratna Widiyastuti dan Budi Armanto, Kompetisi Industri Perbankan Indonesia.

Jadi, lain halnya dengan Pakto 88 yang menggenjot penambahan bank, kebijakan pasca krisis moneter cenderung mengurangi jumlahnya.

Efisiensi, Kompetisi, dan Dominasi

Kecenderungan pendekatan melalui pengetatan jumlah bank berlanjut hingga saat ini. Aksi korporasi berupa merger masih menjadi pilihan. Dengan cara itu, terbentuk bank dengan permodalan yang lebih kuat, ekspansi pasar yang makin luas, dan pengembangan produk yang kian cepat. 

Bagi regulator, pengawasan kepada bank menjadi lebih efektif sehingga tingkat kepatuhan terus terjaga. Dengan berbagai kelebihan itu, reputasi bank diharapkan meningkat sehingga menambah kepercayaan masyarakat.

Akan tetapi, efisiensi jumlah bank itu juga membawa tantangan. Kompetisi yang menurun memunculkan bank-bank yang berpotensi mendominasi pasar. Kondisi dimaksud nampak pada penggabungan beberapa bank yang menghasilkan satu bank yang sangat kuat. Keberadaan bank tersebut tidak diimbangi kompetitor yang sebanding, terutama pada sektornya. Sebut saja, persaingan perbankan syariah.

Loyalitas Tidak Sehat

Minimnya persaingan pun mempersempit pilihan masyarakat. Kondisi itu mengantar pada posisi tawar yang terlalu tinggi pada bank. Kurangnya kualitas layanan, penurunan tata kelola perusahaan, atau mungkin kualitas keamanan yang lemah bisa menjadi sesuatu yang bisa dikesampingkan. Dikarenakan masyarakat tidak memiliki banyak pilihan, maka kondisi-kondisi tersebut akan mereka terima. 

Dalam jangka panjang, hal semacam itu tentunya tidak baik. Loyalitas terhadap bank yang melekat bukan dikarenakan kinerja bank, tetapi karena tak adanya pilihan. Bagi bank, mereka bisa terbuai dengan kenyamanan minimnya persaingan sehingga lalai meningkatkan kualitas layanan maupun kinerjanya.

Pesan Pembelajaran 

Saking kuatnya, suatu bank yang sempat berhenti beroperasi berhari-hari karena permasalahan sistemnya tetap bisa bertahan. Peralihan dana nasabah dari bank dimaksud tidaklah seberapa. Dengan kata lain, nasabah memberikan toleransi atas kelemahan itu. 

Lalu, muncul isu mengenai profesionalitas pengurus bank. Ada dugaan, pihak-pihak tertentu, seperti deposan besar atau partai politik kuat, turut campur dalam penataan pengurus. Benar atau tidaknya, entahlah. 

Yang menarik, kondisi itu nampaknya tidak menggoyang kepercayaan nasabahnya, mereka masih bertahan. Lagi-lagi, tidak tahu juga apakah mereka bertahan karena kesetiaan atau karena kesulitan mencari pilihan.

Apapun itu, semua kondisi yang dihadapi sekarang bisa menjadi pembelajaran bagi mereka yang terlibat dalam industri perbankan. Regulator perlu terus melakukan pengawasan yang melekat, meskipun dalam kondisi stabilitas keuangan yang sedang adem ayem seperti sekarang. 

Dengan kewenangannya, regulator dapat memastikan sektor perbankan selalu dikelola secara profesional dan mengedepankan kepentingan masyarakat. 

Industri pun harus tetap peka dengan kebutuhan pasar, seperti keamanan siber, layanan yang prima, dan pastinya, tingkat kesehatan bisnis yang terjaga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun