Sayangnya, masifnya jumlah bank itu tidak diimbangi tata kelola yang baik, seperti penyalahgunaan penyaluran dana. Akhirnya, satu dekade kemudian, di tengah krisis moneter, belasan bank pun ditutup.Â
Penutupan itu mampu mengurangi jumlah bank yang tidak sehat sehingga kestabilan ekonomi dan kepercayaan masyarakat pun terjaga. Syarat pembukaan dan pengawasan bank juga diperketat. Selain itu, terjadi merger beberapa bank, baik bank pemerintah maupun swasta.
Namun, dengan jumlah bank yang semakin berkurang, persaingan pun menurun sehingga potensi monopoli muncul.
Ketika kecenderungan ke arah monopoli semakin besar, maka semakin besar pula inefisiensi yang terjadi akibat menurunnya kompetisi. Namun, untuk dapat bersaing dengan perbankan global, diperlukan bank-bank yang besar, kokoh, dan stabil, yang umumnya diperoleh melalui proses merger dan akuisisi, tanpa mengorbankan penurunan tingkat kompetisi yang mungkin terjadi. Kesimpulan itu sebagaimana dirangkum dari penelitian Ratna Widiyastuti dan Budi Armanto, Kompetisi Industri Perbankan Indonesia.
Jadi, lain halnya dengan Pakto 88 yang menggenjot penambahan bank, kebijakan pasca krisis moneter cenderung mengurangi jumlahnya.
Efisiensi, Kompetisi, dan Dominasi
Kecenderungan pendekatan melalui pengetatan jumlah bank berlanjut hingga saat ini. Aksi korporasi berupa merger masih menjadi pilihan. Dengan cara itu, terbentuk bank dengan permodalan yang lebih kuat, ekspansi pasar yang makin luas, dan pengembangan produk yang kian cepat.Â
Bagi regulator, pengawasan kepada bank menjadi lebih efektif sehingga tingkat kepatuhan terus terjaga. Dengan berbagai kelebihan itu, reputasi bank diharapkan meningkat sehingga menambah kepercayaan masyarakat.
Akan tetapi, efisiensi jumlah bank itu juga membawa tantangan. Kompetisi yang menurun memunculkan bank-bank yang berpotensi mendominasi pasar. Kondisi dimaksud nampak pada penggabungan beberapa bank yang menghasilkan satu bank yang sangat kuat. Keberadaan bank tersebut tidak diimbangi kompetitor yang sebanding, terutama pada sektornya. Sebut saja, persaingan perbankan syariah.
Loyalitas Tidak Sehat
Minimnya persaingan pun mempersempit pilihan masyarakat. Kondisi itu mengantar pada posisi tawar yang terlalu tinggi pada bank. Kurangnya kualitas layanan, penurunan tata kelola perusahaan, atau mungkin kualitas keamanan yang lemah bisa menjadi sesuatu yang bisa dikesampingkan. Dikarenakan masyarakat tidak memiliki banyak pilihan, maka kondisi-kondisi tersebut akan mereka terima.Â