Bank sentral AS nampaknya belum percaya diri menurunkan suku bunganya, mempertimbangkan inflasi mereka yang masih tinggi. Seperti biasa, suku bunga tinggi kerap menjadi amunisi bank sentral untuk menurunkan inflasi.
Dengan masih tingginya suku bunga acuan bank sentral, menandakan bahwa perkiraan trend suku bunga higher for longer belum berakhir.Â
AS, sebagai poros ekonomi dunia, memang sedang menghadapi kegamangan. Sebelumnya, artikel Finamcial Times berjudul The Biden Dilemma on Israel menyoroti bagaimana pemerintah AS menghadapi dilema menyikapi Israel.Â
Apakah akan membantunya sebagai bentuk persekutuan atau tidak. Jika yang pertama dipilih, perang timur tengah pun dapat berkobar, yang di dalamnya turut campur negara kuat lainnya, Rusia dan China.Â
Kegamangan sikap politik itu sepertinya merembet pada ketidakpercayaan diri dalam pengambilan kebijakan ekonomi.
Menakar Dampak Kebijakan
Meskipun kondisi di luar masih menyisakan ketidakpastian,, sinyal positif mulai nampak di perekonomian domestik.Â
Pada Kamis (2/5), Badan Pusat Statistik mengumumkan inflasi Indeks Harga Konsumen sebesar 3,00%. Angka itu menunjukkan bahwa inflasi terkendali karena masih dalam rentang 1,5%-3,5%.Â
Selain itu, kurs rupiah dibandingkan dollar AS mulai menunjukkan trend penguatan. Pada Jumat (3/5), nilai tukar Rupiah tercatat Rp16.094,00 (JISDOR) atau sudah meninggalkan zona Rp16.200-an.
Optimisme kondisi perekonomian nasional juga telah disuarakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Diantaranya, perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2024 yang berada di atas 5% atau lebih tinggi dari triwulan IV 2023.Â
Sinyal dari KSSK, yang beranggotakan Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan, menandakan bahwa fundamental perekonomian Indonesia masih kuat untuk menaham tekanan ekonomi global.