Sedikit berbagi pengalaman pribadi...
Pertama, mahalnya taksi konvensional bandara
Sesaat setelah mendarat di salah satu bandara, saya langsung menuju layanan taksi lokal. Saat di loket, petugas menyodorkan tarif dengan pembayaran cash, kalaupun menggunakan QRIS dikenakan charge. Tarif jasa yang dikenakan memang cukup tinggi.Â
Pernah saya menanyakan ke pengemudi, mereka sebetulnya hanya menerima sekian persen dari tarif, selebihnya untuk pihak pengelola. Taksi lokal ini biasanya dikelola pihak terafiliasi dengan bandara, diantaranya perusahaan pengelola bandara atau koperasi.
Kendaraan yang mengantarkan saya tampak kurang terawat. Namun, yang membuat lebih tidak nyaman, menjelang tiba di tujuan, pengemudi tiba- tiba meminta tarif tambahan. Alasannya adalah saya telah melampaui kilometer yang ditetapkan. Hal itu tidak pernah diinformasikan pada awal transaksi. Sungguh pengalaman yang tidak menyenangkan.
Beberapa bandara saat ini sudah mengizinkan taksi online beroperasi di areanya. Tarifnya lebih murah dari taksi konvensional. Selain itu, besarnya tarif layanan juga sudah pasti karena based on aplikasi. Layanan tersebut berdampingan dengan taksi lokal atau konvensional. Mana yang dipilih? Terserah para penggunanya.
Kedua, pedagang konvensional menolak digital
Sekian tahun silam, saya masih ingat betapa ramainya pasar grosir di ibukota ini. Saking ramainya, konsentrasi untuk belanja kerap terpecah sembari menjaga dompet agar tidak dicopet.
Tetapi, beberapa bulan lalu, para pedagang di pasar tersebut mulai resah. Dagangannya mereka anggap mulai sepi. Kehadiran pasar digital mereka anggap sebagai pangkal persoalan.
Platform digital memang menjadi salah satu pemicu berubahnya perilaku pembeli. Pelan-pelan mereka meninggalkan transaksi tatap muka. Bagaimana tidak, platform digital mampu menawarkan kemudahan jual beli, yang paling menarik, harga yang lebih murah daripada perdagangan konvensional.Â