Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Uniknya Perilaku Ekonomi di Bulan Suci Ramadan

28 Maret 2024   22:38 Diperbarui: 29 Maret 2024   09:06 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Warga menukarkan uang pecahan baru di layanan penukaran uang secara mobile di Balikpapan, Kalimantan Timur.(KOMPAS.COM/Ahmad Riyadi)

Analoginya, ketika berpuasa orang mengurangi konsumsi makan. Dengan mengurangi makan, semestinya mengurangi belanja makanan. 

Uniknya, pada bulan Ramadan hingga Idul Fitri, nampak pembelanjaan orang justru meningkat. Secara kasat mata, kita sudah bisa menilai, pada periode tersebut belanja rumah tangga merangkak bakalan naik.

Lalu, apabila ditilik secara statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mewanti-wanti untuk mewaspadai terjadinya kenaikan harga secara umum pada momen bulan Ramadan. Hal itu ditunjukkan dari data historis perkembangan inflasi, dimana pada momen Ramadan selalu terjadi inflasi. 

Masih menurut BPS, beberapa komoditas yang berpotensi memberikan andil terhadap inflasi umum diantaranya adalah komoditas pangan.

Ya memang, jika dikaitkan dengan ibadah puasa, sekilas perilaku konsumsi tinggi itu seperti sebuah anomali. 

Apakah Salah?

Konsumsi tinggi tersebut merupakan salah satu pemicu inflasi. Biasanya, inflasi diidentikkan sebagai momok yang kudu diperangi. Meningkatnya inflasi menjadi catatan buruk perekonomian di daerah bahkan nasional. 

Wajar juga karena inflasi yang tinggi mengakibatkan biaya hidup yang mahal. Jika tidak terkendali, tidak mustahil akan mengantarkan pada kemiskinan.

Sesuai data BPS, inflasi pada hari besar keagamaan nasional seperti saat ini merupakan fenomena berulang. Artinya, bukan hal yang mengejutkan lagi atau sudah terprediksi. 

Konsumsi tinggi pada momentum suci itu sudah menjadi tradisi. Nyaris tidak mungkin untuk mengubah perilaku yang ada. 

Imbauan belanja bijak atau belanja sesuai kebutuhan dari pemerintah berulang disampaikan. Akan tetapi, masyarakat seakan tetap menikmati konsumsi tingginya. Kenaikan harga barang tidak terlalu dihiraukan, berbeda dengan periode-periode di luar Ramadan.

Lingkungan sebetulnya juga mendukung konsumsi tersebut. Buktinya adalah munculnya tunjangan hari raya sebagai komponen tambahan penghasilan. Kewajiban pemberi kerja untuk memberikan tambahan penghasilan itu sudah diperintahkan oleh negara melalu undang-undang.

Jadi, apakah salah perilaku masyarakat tersebut? Jawabannya relatif. 

Dikatakan salah jika pembelanjaannya terlalu berlebihan. Sederhananya, perilaku tersebut selain pemborosan juga mengakibatkan kemubaziran. Tindakan seperti itu tentu juga keluar dari koridor tuntunan agama, yang mengajarkan untuk tidak berlebihan.

Namun, perilaku konsumsi tinggi masyarakat juga masih dapat dimaklumi. Konsumsi tinggi pada masa-masa tertentu sah-sah saja. Momentum perayaan sesuatu tentunya bisa menimbulkan konsekuensi pengeluaran di atas rata-rata. 

Yang perlu menjadi perhatian, konsumsi tinggi tersebut tetap harus terukur. Maksudnya, prinsip penyeimbangan antara pengeluaran dan pemasukan harus tetap dipegang. 

Berburu Uang Baru

Kembali pada aspek tradisi, pengeluaran tinggi selama Ramadan dan Idul Fitri tidak melulu soal belanja rumah tangga. Indonesia memiliki tradisi unik berbagi uang baru pada saat puncak hari raya. 

Budaya berbagi itu umumnya dilakukan oleh anggota keluarga yang sudah memiliki penghasilan kepada sanak saudara yang belum bekerja.

Di tengah era transaksi digital saat ini, budaya berbagi uang tunai baru itu tidak tergoyahkan. 

Tentu saja, tradisi tersebut terakumulasi menjadi pengeluaran tambahan masyarakat. Tetapi sekali lagi, masyarakat sangat menikmati momentum dimaksud. Aktivitas berbagi uang tersebut sudah menjadi bagian dari kebahagiaan mereka, bukan lagi dianggap sebagai beban.

Jadi, keunikan aktivitas ekonomi di bulan suci ini nampaknya tidak akan lekang oleh zaman. Perilaku konsumsi tinggi yang diikuti kenaikan inflasi, kemungkinan besar bakal terulang di waktu mendatang.

Bagaimanapun, pemerintah bersama otoritas-otoritas penanggung jawab inflasi, tetap harus menjalankan tugasnya menjaga agar inflasi yang meningkat ini tetap terkendali. Peran masyarakat untuk mengendalikan diri dalam berkonsumsi juga sangat diperlukan. 

Alhasil, kita semua dapat menikmati ibadah suci ini, hingga ujung perayaan kemenangan nanti, tanpa dihantui dampak inflasi tinggi yang menggerogoti ekonomi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun