Imbauan belanja bijak atau belanja sesuai kebutuhan dari pemerintah berulang disampaikan. Akan tetapi, masyarakat seakan tetap menikmati konsumsi tingginya. Kenaikan harga barang tidak terlalu dihiraukan, berbeda dengan periode-periode di luar Ramadan.
Lingkungan sebetulnya juga mendukung konsumsi tersebut. Buktinya adalah munculnya tunjangan hari raya sebagai komponen tambahan penghasilan. Kewajiban pemberi kerja untuk memberikan tambahan penghasilan itu sudah diperintahkan oleh negara melalu undang-undang.
Jadi, apakah salah perilaku masyarakat tersebut? Jawabannya relatif.Â
Dikatakan salah jika pembelanjaannya terlalu berlebihan. Sederhananya, perilaku tersebut selain pemborosan juga mengakibatkan kemubaziran. Tindakan seperti itu tentu juga keluar dari koridor tuntunan agama, yang mengajarkan untuk tidak berlebihan.
Namun, perilaku konsumsi tinggi masyarakat juga masih dapat dimaklumi. Konsumsi tinggi pada masa-masa tertentu sah-sah saja. Momentum perayaan sesuatu tentunya bisa menimbulkan konsekuensi pengeluaran di atas rata-rata.Â
Yang perlu menjadi perhatian, konsumsi tinggi tersebut tetap harus terukur. Maksudnya, prinsip penyeimbangan antara pengeluaran dan pemasukan harus tetap dipegang.Â
Berburu Uang Baru
Kembali pada aspek tradisi, pengeluaran tinggi selama Ramadan dan Idul Fitri tidak melulu soal belanja rumah tangga. Indonesia memiliki tradisi unik berbagi uang baru pada saat puncak hari raya.Â
Budaya berbagi itu umumnya dilakukan oleh anggota keluarga yang sudah memiliki penghasilan kepada sanak saudara yang belum bekerja.
Di tengah era transaksi digital saat ini, budaya berbagi uang tunai baru itu tidak tergoyahkan.Â
Tentu saja, tradisi tersebut terakumulasi menjadi pengeluaran tambahan masyarakat. Tetapi sekali lagi, masyarakat sangat menikmati momentum dimaksud. Aktivitas berbagi uang tersebut sudah menjadi bagian dari kebahagiaan mereka, bukan lagi dianggap sebagai beban.