Jodoh Ideal
Pertumbuhan ekonomi yang baik tidak akan banyak berarti jika inflasinya tidak terkendali, begitupun sebaliknya. Meskipun tidak mudah, laju ekonomi tinggi kudu tetap dipacu sembari inflasi dikendalikan.
Sesuai penjelasan Bank Indonesia (BI), inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Memasuki tahun ini, target inflasi yang ditetapkan pemerintah memang semakin rendah yaitu kisaran 1,5% s.d 3,5%. Target yang paling rendah jika dibandingkan histori target sejak 2001.
Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai UU No. 19 Tahun 2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditargetkan mencapai 5,2%. Angka itu lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 yang sebesar 5,05%, sesuai rilis Badan Pusat Statistik.
Menurunnya target inflasi disertai naiknya target pertumbuhan ekonomi menunjukkan kepercayaan diri Indonesia untuk mewujudkan kondisi ekonomi yang semakin baik. Keduanya semestinya tercapai secara berimbang. Maksudnya, tidak ada pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun dikompensasikan dengan inflasi tinggi, begitupun sebaliknya.
Laiknya pasangan serasi, pertumbuhan ekonomi tinggi merupakan jodoh ideal dari inflasi yang rendah.
Indonesia Lebih Kuat
Tahun 1997, terjadi krisis finansial di Thailand akibat kebijakan devaluasi mata uang Bath terhadap USD. Krisis itu merembet ke  negara-negara lain terutama Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara terdampak yang parah, bahkan mungkin paling parah.
Sudah banyak kajian yang membahas akar permasalahan penyebab Indonesia menderita dampak yang dalam. Secara singkat, dampak tersebut merupakan akumulasi dari beragam persoalan yang terpendam. Tidak hanya persoalan ekonomi, namun juga politik, hukum, dan sosial.
Dari aspek ekonomi, ekonom Anwar Nasution berpendapat bahwa defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial. Mengutip pula pendapat akademisi Universitas Indonesia, Lepi T. Tarmidi, penyebab dari krisis bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang lemah, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah besar. Â Â