Bank Indonesia (BI) baru saja mengumumkan pencabutan dan penarikan beberapa pecahan uang Rupiah logam. Pecahan-pecahan dimaksud yaitu Rp500 Tahun Emisi 1991 dan Rp500 TE 1997, keduanya berwarna kuning dengan gambar bunga melati. Ada juga pecahan Rp1.000 TE 1993 gambar kelapa sawit, warna putih perak di luar dan kuning emas di dalam.
Ngomongin uang logam, apa yang biasa kita lakukan terhadapnya?Â
Berbeda dengan uang kertas yang umumnya cepat kita transaksikan, mungkin banyak di antara kita kerap memperlakukan uang logam dengan sekadar mengumpulkannya di rumah. Tentu ada berbagai alasan mengapa uang logam kerap kurang diberdayakan.Â
Jarang Digunakan
Uang logam yang berlaku saat ini adalah pecahan Rp50, Rp100, Rp200, Rp500, dan Rp1.000.Â
Dari data BI, total nilai pecahan uang logam yang diedarkan hingga Oktober 2023 sebesar Rp11.8T. Â
Jika mengamati data bulanan BI terkait uang yang diedarkan, terdapat perbedaan trend peredaran uang kertas dan uang logam. Untuk kertas, setiap bulan terdapat fluktuasi nilai. Adapun untuk uang logam, nilainya konsisten naik.
Secara sederhana, ketika angka turun maka terdapat uang yang kembali diserap BI melalui bank, non bank, atau saluran lainnya (inflow). Ilustrasinya, ada masyarakat yang menyetorkan uang ke bank lalu bank menyetorkannya ke BI.
Sebaliknya, ketika angka naik berarti uang masih beredar di masyarakat dan belum kembali ke BI. Kenaikan terjadi karena secara periodik BI mengedarkan uangnya (outflow), namun uang yang telah beredar minim atau tidak ada yang kembali lagi ke BI.Â
Ilustrasinya, BI mengedarkan uang melalui bank, kemudian masyarakat menarik uangnya dari bank. Setelah itu, uang berlanjut berputar di masyarakat tidak masuk ke bank.Â
Nah, terkait uang logam, karena konsisten naik berarti uang jenis tersebut setelah diedarkan oleh BI diasumsikan masih berada di masyarakat. Ketika berada di masyarakat, ada kemungkinan uang tersebut berputar untuk transaksi atau hanya dipegang masyarakat (idle). Kemungkinan kedua inilah yang menunjukkan bahwa uang logam jarang mereka gunakan.Â
Mengapa Disimpan?
Kecenderungan uang logam jarang ditransaksikan bisa dikarenakan faktor-faktor tertentu.
Pertama, transaksi nilai kecil sudah dapat dilakukan secara non tunai, seperti pembayaran menggunakan QRIS.Â
Data BI menunjukkan bahwa nominal transaksi, pengguna, dan merchant QRIS terus mengalami pertumbuhan. Artinya, aktivitas transaksi semakin terbiasa menggunakan QRIS.Â
Kedua, dengan maraknya transaksi digital, masyarakat akan semakin jarang membawa uang tunai dalam jumlah besar. Termasuk, membawa uang logam yang terkadang merepotkan karena memenuhi isi dompet, atau malah bisa merusak kartu-kartu di dompet.
Ketiga, secara tidak langsung, inflasi terus mendorong harga barang naik. Dampaknya, apabila pembayaran menggunakan uang logam yang notabene nominalnya kecil, maka diperlukan jumlah uang yang banyak.Â
Contoh, dahulu sekeping Rp100 bisa mendapatkan satu gorengan. Sekarang, makanan tersebut dihargai Rp1.000 sehingga diperlukan pecahan logam yang lebih banyak.
Masih Diperlukan
Seiring dengan terus berkembangnya transaksi non tunai dan bahkan dalam waktu dekat penggunaan Rupiah Digital, muncul pertanyaan, apakah uang tunai terutama uang logam masih diperlukan? Secara global, berbagai bank sentral di dunia masih mempertahankan penggunaan uang logam.
Sebuah kajian berjudul Digital Payments Make Gains but Cash Remains yang diterbitkan Bank for International Settlements (BIS), menyebutkan bahwa uang tunai masih mempunyai peran penting di berbagai negara. Peran penting itu dicontohkan dengan saat terjadinya kondisi krisis, seperti pandemi dan Great Financial Crisis, permintaan uang tunai meninggi.
BIS menduga bahwa uang tunai saat itu lebih diperlakukan sebagai store value daripada sebagai alat pembayaran. Store value adalah aset, mata uang, atau komoditas yang dapat dijaga nilainya dalam waktu yang panjang. Â Â Â Â Â
Di Indonesia, sistem pembayaran yang berkembang sifatnya memperluas alternatif instrumen. Artinya, meskipun pembayaran berbasis teknologi terus berkembang, tidak berarti menghilangkan pembayaran konvensional. Masyarakat diberikan pilihan untuk melakukan pembayaran secara digital maupun tunai.
Patut diakui, masih banyak masyarakat Indonesia yang tetap mengedepankan transaksi tunai. Merubah budaya transaksi tidak bisa dilakukan secara spontan dan instan. Infrastruktur internet di kawasan remote juga masih terbatas.Â
Belum lagi, penduduk usia lanjut yang sulit beradaptasi dengan teknologi. Mereka semua masih memerlukan instrumen pembayaran uang kertas dan logam.
Memperlakukan Uang
Semisal, jika 100 juta orang Indonesia membiarkan uang logamnya senilai Rp1.000 di rumah, maka akan terdapat dana menganggur sebanyak Rp100 milyar. Dana sejumlah itu, jika dimanfaatkan, cukup besar untuk mendukung pemberdayaan ekonomi, seperti penyaluran kredit mikro, perdagangan di sektor riil, dll.
Poin pentingnya, perlunya perubahan perilaku masyarakat terhadap uang logam. Sebisa mungkin uang tersebut bisa dimanfaatkan dalam transaksi sehari-hari. Toh, sesuai ketentuan, uang tersebut masih berlaku sebagai alat pembayaran.
Ada sektor-sektor ekonomi yang sering memerlukan uang logam. Sebut saja, toko retail modern yang kerap beralasan tidak memiliki kembalian uang logam sehingga menawarkan untuk disumbangkan. Atau, pedagang kaki lima yang sering kesulitan mencari uang kembalian, dan transaksi nilai receh lainnya.
Kalau pun tidak dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, ketimbang didiamkan, uang logam bisa pula disalurkan untuk berbagai kepentingan sosial.
Selain pemanfaatan, perlu juga diperhatikan hal-hal yang patut dihindari dalam memperlakukan uang logam. Misalnya, kasus melebur uang logam untuk dimanfaatkan bahannya, seperti pernah terjadi beberapa tahun silam. Ulah tersebut didorong oleh nilai bahan pembuat uang logam (nilai intrinsik) yang lebih mahal daripada nilai nominal uang itu. Ada pula, uang logam yang malah digunakan untuk membuat kerajinan hiasan dinding.
Uang logam, sebagaimana uang kertas, harus digunakan dengan baik sesuai dengan fungsinya sebagai alat pembayaran. Tidak kalah penting, memanfaatkan uang logam sebagaimana mestinya juga bentuk penghormatan kita kepada simbol negara. Uang Rupiah adalah bagian dari simbol kedaulatan negara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H