Kondisi sebaliknya akan terjadi jika suku bunga acuan diturunkan.
Jadi, kebijakan mana yang lebih baik? Naik atau turun? Jawabannya adalah relatif, tergantung kondisi ekonomi yang sedang dihadapi serta strategi pencapaian pertumbuhan ekonomi ke depan.
Mengapa Kali Ini Naik?
Banyak kondisi yang melatarbelakangi pengambilan keputusan suku bunga acuan. Kondisi itu dapat berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi ekonomi global, maupun faktor internal, berupa kondisi ekonomi domestik.
Salah satu yang sangat berpengaruh adalah kondisi global berupa suku bunga acuan negara-negara maju, diantaranya Amerika Serikat (AS). Hingga September lalu, bank sentral AS (Federal Reserve) masih bertahan pada suku bunga acuan yang tinggi yaitu 5,25%-5,50%. Angka tersebut menurut mereka masih mungkin dinaikkan pada beberapa waktu ke depan. Pada bulan yang sama, suku bunga acuan BI bertengger di 5,75%.
Perubahan suku bunga umumnya adalah 25 basis poin. Artinya, jika Federal Reserve sekali lagi menaikkan suku bunganya dan BI tetap bertahan, maka suku bunga kedua negara itu bisa sama.
Kondisi yang ada itu, mendorong Indonesia untuk memiliki tingkat suku bunga di atas negeri Paman Sam itu. Mengapa demikian?
Tingkat suku bunga acuan merupakan salah satu daya tarik bagi investor untuk berinvestasi atau menanamkan modalnya di Indonesia. Hal itu berkorelasi dengan imbal hasil yang diharapkan oleh investor.
Ketika suku bunga Indonesia sama atau bahkan di bawah AS, maka akan muncul risiko perpindahan dana atau modal dari tanah air ke negara tersebut (capital outflow) ke AS.Â
Investor akan lebih berminat menginvestasikan dananya di AS ketimbang di Indonesia. Kondisi itu dapat menggerus cadangan devisa yang akhirnya akan menekan nilai rupiah ke tingkat yang rendah.
Analogi sederhananya, ketika terjadi capital outflow, persediaan dollar dalam negeri akan semakin menipis. Jumlah yang minim itu mengakibatkan dolar semakin mahal.