Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Indonesia Menyambut Revenge Travel

26 Oktober 2023   05:30 Diperbarui: 26 Oktober 2023   07:00 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wisatawan di Bali.(Shutterstock/Davide+Angelini via Kompas.com)

Sektor pariwisata diharapkan mulai recovery di tahun 2023 ini dan akan kembali seperti sebelum pandemi pada tahun 2024. 

Pada periode tersebut akan terjadi suatu "revenge travel", istilah yang menggambarkan perilaku kompensasi masyarakat yang telah kehilangan waktu berwisata selama pandemi. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam kajian ASEAN+3 Regional Economic Outlook 2023.

Revenge Travel ke Indonesia

Fenomena revenge travel sudah mulai nampak di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan akumulasi kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia periode Januari-Agustus 2023 telah mencapai 7,44 juta kunjungan. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, terjadi peningkatan signifikan sebesar 166,12%.

Untuk wisatawan nusantara, BPS mencatat kunjungan pada semester I-2023 sudah mencapai 433,57 juta perjalanan. Jumlah tersebut naik sebesar 12,57% dibandingkan semester I-2022.

Dengan tingkat kunjungan yang tinggi itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah menargetkan perolehan devisa pariwisata sebesar $9,99M dan kontribusi Produk Domestik Bruto Pariwisata sebesar 4,1% pada tahun 2023. 

Sesuai kajian Outlook Pariwisata Kemenparekraf, melonjaknya aktivitas wisata tersebut tidak terlepas dari adanya relaksasi kebijakan berupa pelonggaran kepada 43 negara melalui penggunaan visa on arrival dan bebas visa kunjungan untuk negara ASEAN. 

Dengan melihat tren berjalan, momentum kebangkitan sektor pariwisata kemungkinan masih terus berlanjut. Oleh karenanya, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk menyambut momentum itu. Salah satu yang sangat penting adalah kelancaran sistem pembayaran. 

Pentingnya Sistem Pembayaran (Pembelajaran Kasus di Bali)

Bagaimanapun, sistem pembayaran ini merupakan gerbang awal (entry point) diperolehnya nilai tambah aspek keuangan dari sektor pariwisata. Aspek tersebut nantinya berkontribusi pada pendapatan negara. 

Penguatan sistem pembayaran juga belajar dari pengalaman aktivitas wisata di Bali beberapa tahun silam. Saat itu, terdapat transaksi para turis asal China di toko-toko menggunakan aplikasi pembayaran asal negara mereka yaitu Alipay dan WeChat. Aplikasi-aplikasi tersebut belum memperoleh izin dari Bank Indonesia (BI). 

Dampaknya, tidak adanya kontrol transaksi valuta asing antarnegara dan lebih buruk lagi, tidak ada pemasukan devisa ke Indonesia karena dana langsung masuk ke China. Praktik semacam itu pastinya sangat merugikan Indonesia. Layaklah menyebut, turis dimaksud hanya meninggalkan sampah, tanpa membawa berkah.

QRIS Cross-Border (Antarnegara)

Saat ini, meskipun terdapat pengetatan pengawasan aktivitas pembayaran oleh wisman, BI tetap memberikan kemudahan transaksi para wisman melalui pengembangan QRIS antarnegara. 

Hingga tahun ini, transaksi berbasis pembayaran QR bisa dilakukan antara Indonesia dengan Thailand dan Malaysia, dalam waktu dekat dengan Singapura. Ke depan, ditargetkan integrasi seluruh negara ASEAN bahkan dengan Jepang. 

Keberadaan QRIS antarnegara ini tentu akan sangat membantu transaksi para wisman, khususnya pembayaran-pembayaran kepada UMKM sekitar daerah wisata. Para wisman pun tidak perlu lagi repot menukarkan uang tunai dalam jumlah besar.

Menariknya, konversi kurs untuk transaksi QRIS Antarnegara lebih pasti, transparan, dan murah. Tidak seperti kurs yang disediakan para pedagang valuta asing yang bisa berbeda satu dengan yang lain. 

Kelebihan itu karena kurs langsung diproses oleh sistem dalam aplikasi pembayaran. Ditambah lagi, adanya mekanisme penggunaan mata uang lokal (local currency transaction) yang menghasilkan biaya transaksi lebih rendah.

Kemudahan pembayaran tersebut dapat pula dikaitkan dengan pemenuhan faktor amenitas atau kenyamanan, yang merupakan syarat untuk menarik wisatawan. 

Adanya kemudahan itu diharapkan meningkatkan frekuensi transaksi. Alhasil, seluruh pihak akan diuntungkan, bagi Wisman pembayaran semakin mudah, bagi UMKM pemasukan meningkat, dan yang terpenting, pendapatan negara semakin tinggi.

Local Currency Transaction (LCT)

Sebagaimana disinggung di atas, LCT ini merupakan penyelesaian transaksi yang dilakukan secara bilateral oleh pelaku usaha di Indonesia dan negara mitra dengan menggunakan mata uang masing-masing negara.

Ringkasnya, transaksi antara dua negara bisa langsung menggunakan mata uang lokal kedua negara itu tanpa dikonversi ke dolar. Berbeda dengan transaksi di luar LCT, yang mana kurs mata uang kedua negara harus melalui cross currency rate (dolar). Kesimpulannya, dengan LCT, biaya transaksi menjadi lebih murah ketimbang di luar LCT.

Penerapan LCT ini diawali dengan kerja sama antar dua negara yang diwakili bank sentralnya masing-masing. Hingga saat ini, BI telah menjalin kerja sama LCT dengan bank sentral di Malaysia, Thailand, Jepang, dan China. Dalam waktu dekat, akan dikembangkan dengan Singapura dan Korea Selatan.

Kaitannya dengan sektor wisata, dengan adanya kerja sama LCT dengan beberapa negara tersebut maka akan dihasilkan efisiensi konversi kurs. Para wisatawan pun bisa menghemat pengeluaran biaya untuk konversi mata uang sehingga dapat mengoptimalkan pengeluarannya guna bertransaksi di sektor riil. 

Tidak kalah penting, kerja sama LCT dapat mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika. Dengan demikian, dampak dari flukstuasi nilai dolar ke mata uang lokal terhadap sektor pariwisata dapat diminimalisasi. 

Pemulihan Ekonomi

Momentum revenge travel ini menjadi kesempatan Indonesia untuk mendorong pemulihan ekonomi pasca pandemi. Belakangan ini memang mulai bermunculan tantangan-tantangan baru. 

Di antaranya, terjadinya inflasi di berbagai negara yang berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat global. Efeknya bisa merembet pada menurunnya preferensi untuk berwisata.

Namun, tantangan nampaknya tidak akan pernah habis, selalu bermunculan dengan bentuknya yang berlainan. Jadi, yang perlu dilakukan adalah tetap mempersiapkan diri menghadapi momentum yang ada saat ini. 

Penguatan sistem pembayaran merupakan langkah strategis guna memberikan daya tarik kemudahan bagi wisatawan. Sekaligus, memastikan pariwisata mampu mempersembahkan berkah pendapatan bagi negera kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun