Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kemandirian Pangan Dimulai dari Pekarangan

22 Oktober 2023   06:00 Diperbarui: 22 Oktober 2023   06:05 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Meskipun berbagai amunisi pengendalian inflasi pangan telah dikeluarkan pemerintah, kenaikan harga komoditas bergejolak itu masih terus membayangi perekonomian negeri. Belum selesai persoalan beras, Badan Pusat Statistik sudah mewanti-wanti trend kenaikan komoditas gula pasir dan cabai rawit di pertengahan Oktober ini.

Persoalan inflasi memang kompleks, banyak faktor saling berkaitan. Selain kelangkaan stok, masih ada faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhinya. Sebut saja, pelemahan rupiah yang dapat berimbas pada biaya impor pangan, misalnya beras.

Lalu, geopolitik negara-negara konflik, yang dapat mengerek harga minyak bumi. Ujung-ujungnya, kondisi itu dapat mempengaruhi harga bahan bakar minyak domestik, kemudian merembet pada biaya distribusi komoditas pangan. Lagi-lagi, harga komoditas tersebut bakalan merangkak ke atas.  

Singkatnya seperti itu skenario pesimisnya, kondisi masih bisa berubah dipengaruhi kebijakan para pengambil keputusan.

Jadi, dari sisi masyarakat sebagai konsumen, apakah tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah? Tentu tidak. Masih ada yang bisa kita lakukan untuk tetap bertahan.

Life is Easy. Why do We Make it so Hard?

Kalimat yang  diutarakan seorang pria berpakaian sahaja saat tampil dalam channel TEDx Talk. Namanya Jon Jandai, memperkenalkan diri sebagai seorang petani dari Thailand.

Mengawali hidup di lingkungan desa yang miskin, Jandai pun berupaya memperbaiki nasib dengan melakukan berbagai macam pekerjaan di kota. Sayang sekali, kerja keras tersebut belum bisa melepaskan dia dari jeratan kemiskinan. Penghasilan yang diperolehnya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, tanpa menyisakan buat simpanan.

Akhirnya, Jandai pun memutuskan kembali ke kampung halaman dengan tekad mencoba cara hidup baru agar terbebas dari kemiskinan. Pengalaman sulit ketika pemenuhan kebutuhan tergantung dari pihak lain, membuahkan ide penerapan strategi hidup mandiri (self-reliance).  

Dia pun mulai mencoba memenuhi semua kebutuhan sehari-hari sendiri tanpa membeli. Seperti halnya, menanam tanaman pangan di lingkungan sendiri sekaligus memasaknya sendiri. Tidak hanya urusan pangan, bersama komunitasnya, Jon juga membangun rumah sendiri, membuat sabun dan shampo sendiri, bahkan pengobatan sendiri. Semuanya dilakukan dengan memanfaatkan bahan-bahan alam.

Bersama dengan keluarga dan teman-temannya, Jon Jandai lalu mendirikan komunitas yang disebut Pun Pun. Komunitas itu mempunyai banyak tujuan sosial, diantaranya menjual hasil pertanian mereka sekaligus mengedukasi masyarakat mengenai bertani mandiri. Mencakup, teknik pengelolaan pertanian dari hulu hingga hilir, sehingga dari produksi sampai konsumsi bisa dilakukan sendiri.

Yang menarik dari Pun Pun, pembelajaran yang dilakukan berdasarkan pada pertukaran pengalaman (knowledge sharing) dari para anggotanya dan hasil eksperimen. Proses pembelajarannya pun nampak mudah karena mengedepankan percobaan di lahan bukan menghabiskan waktu di kelas.

Dari seluruh rangkaian hidup Jon Jandai itu, patutlah dia menyimpulkan "life is easy, why do we make it so hard?"    

Dikutip dari www.jon-jandai.com

Bertahan Menghadapi Tekanan Ekonomi

Gaya hidup yang diterapkan Jon Jandai dan komunitasnya terbukti mampu menciptakan kemandirian ekonomi. Gejolak ekonomi yang terjadi di luar pun tidak berpengaruh signifikan pada kehidupan sehari-hari mereka. Jadi, terbentuk semacam kekuatan untuk bertahan (resilient).

Jika dikaitkan dengan penanganan persoalan pangan, pendekatan penanaman tanaman pangan secara mandiri, merupakan tindakan yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengurangi dampak inflasi pangan.

Tentu, apa yang dilakukan itu tidak akan langsung mempengaruhi pergerakan harga. Namun, masyarakat yang mempunyai tanaman pangan sendiri setidaknya dapat mengurangi ketergantungan pembelanjaan bahan pangan di luar. Artinya, mengurangi pula pengeluaran mereka dan yang terpenting, mengurangi tingkat permintaan.

Analogi sederhananya, ketika ketersediaan cabai langka sehingga berakibat harga melonjak, rumah tangga dapat mengkonsumsi cabai yang mereka tanam sendiri di pekarangan. Dengan demikian, mereka sudah dapat menghemat pengeluaran sekaligus menurunkan angka permintaan di pasar.

Gejolak harga yang dapat memicu terjadinya inflasi dan munculnya kebijakan untuk menanggulanginya adalah sesuatu di luar kendali masyarakat. Karena itulah, masyarakat hanya mampu mempertahankan diri mengurangi tekanan ekonomi yang terjadi.

Pemanfaatan Pekarangan Ala Kampung Glintung

Meskipun telah banyak dilakukan, pemanfaatan pekarangan atau lahan menganggur nampaknya perlu disempurnakan. Tujuannya, agar aktivitas tersebut memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan.     

Penyempurnaan bisa dimulai dengan pelaksanaan penanaman secara kolektif. Maksudnya, program penanaman tanaman pangan akan memberikan nilai tambah yang berarti jika dilakukan secara bersama di lingkungan perumahan. Mirip dengan apa yang dilakukan Jon Jandai ketika mengajak masyarakat disekitarnya agar bersama-sama menanam tanaman pangan. 

Di Indonesia, ada namanya Kampung Glintung Malang, sebuah lorong jalan yang tidak terlalu besar di Bumi Arema itu. Uniknya, setiap pekarangan rumah dan lahan di kampung dipenuhi tanaman meskipun tidak semuanya adalah tanaman pangan. Namun, pendekatan berupa kesepakatan warga untuk mau menanam dan menggunakan lahan yang menganggur patut dicontoh. Komitmen semacam itu memiliki beberapa manfaat. 

Pertama, adanya peluang pertukaran informasi antar warga mengenai tata cara penanaman yang benar. Bagaimanapun, aktivitas pemanfaatan pekarangan ini akan melibatkan masyarakat yang awam dengan dunia pertanian. Oleh karenanya, pendekatan melalui knowledge sharing ini bisa efektif. Tentunya, pengetahuan yang dibagikan tidak selalu berbasis teori tetapi berdasarkan pengalaman.

Kedua, aktivitas yang dilakukan bersama bisa mendorong konsistensi dalam pelaksanaannya. Konsistensi ini menjadi kata kunci keberlanjutan aktivitas pemanfaatan pekarangan ini. Dengan adanya keberlanjutan, maka hasil yang diperoleh pun akan lebih dapat dirasakan. Memang ada banyak program penanaman tanaman pangan yang sifatnya "sekali pukul" saja. Misalnya, kegiatan pembagian benih yang tidak dilanjutkan dengan pemantauan hasil penanaman. Program semacam itulah yang perlu untk disempurnakan.     

Dimulai Dengan Satu Langkah                

A journey of a thousand miles begins with a single step, pepatah Cina yang mengingatkan bahwa setiap tujuan besar perlu dimulai dengan langkah kecil. Pemanfaatan pekarangan memang bukan langkah besar dan pastinya, nyaris mustahil mampu menahan inflasi. Tetapi patut diakui, langkah kecil itu dapat memberikan arti besar bagi masyarakat ketika mereka harus bertahan dari tekanan ekonomi karena inflasi. 

Bagaimanapun, korban terbesar dari inflasi pada akhirnya adalah masyarakat sendiri. Jadi, ketika kemandirian pangan melalui pemanfaatan pekarangan ini bisa membantu mereka untuk tetap bertahan, gejolak inflasi pun bisa menjadi tidak terlalu berarti.           

   

 

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun