Polemik makin larisnya TikTok Shop dengan kian sepinya pasar tradisional mendorong pemerintah hadir untuk menengahinya. Akhirnya, muncullah peraturan baru yang membatasi aktivitas social commerce, diantaranya TikTok Shop (Permendag No. 31 Tahun 2023).
Kebijakan pemerintah kali ini cukup menarik perhatian publik, ya karena platform digital sekarang sudah menjadi tumpuan baru dalam aktivitas ekonomi.
Sebagian kelompok mendukung pembatasan sosial commerce mempertimbangkan potensi kerugian UMKM. Sementara yang lain justru melihat social commerce sebuah inovasi baru untuk pengembangan usaha.Â
Mana yang benar? Kita lihat saja nanti, waktu yang membuktikan.
Fenomena Berulang
Fenomena polemik terhadap suatu inovasi ekonomi sebenarnya telah terjadi berulang kali di Indonesia. Mari kita tengok sejenak beragam peristiwa serupa yang telah berlalu.Â
Sekitar tahun 2005, para sopir taksi di kota-kota besar melakukan demo menentang perluasan bisnis Blue Bird. Saat itu, Blue Bird dikenal sebagai penyedia taksi yang memberikan layanan prima, seperti profesionalitas pengemudi, kejelasan tarif melalui argo, dan kendaraan yang layak.
Lain halnya dengan kebanyakan taksi yang beroperasi dengan standar rendah, seperti tarif tidak jelas dan kecurangan pengemudi. Kehadiran Blue Bird dianggap mengancam bisnis mereka karena tentunya konsumen akan beralih ke Blue Bird.
Satu dekade kemudian, kembali terjadi demo besar-besaran oleh tidak hanya pengemudi taksi, tetapi juga pengemudi ojek. Bahkan, pengemudi Blue Bird pun turut sebagai pendemo. Saat itu, mereka menentang maraknya bermunculan taksi dan ojek online, seperti Gojek, Grab, dan Uber.
Pokok persoalan saat itu adalah taksi dan ojek online selain tidak memiliki izin sebagai kendaraan umum, juga menawarkan ongkos yang lebih murah.