Perkiraan hilangnya ekonomi di Indonesia akibat sampah makanan bisa mencapai Rp500an triliun atau setara dengan 4%-5% PDB per tahun, sesuai perhitungan Bappenas. Angka sebesar itu mendekati alokasi anggaran pemerintah untuk pendidikan tahun 2023 yaitu sekitar Rp600an triliun. Â
Konsekuensi beban ekonomi yang mahal dari sampah makanan dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dalam sekian tahun ke depan. Bisa demikian ketika dikaitkan dengan pertambahan jumlah penduduk hingga sekian tahun ke depan. BPS mencatat jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 sebanyak 270 juta jiwa, dengan proyeksi mencapai 294 juta jiwa pada tahun 2030.
Proyeksi pertambahan penduduk tersebut berbanding lurus dengan proyeksi bertambahnya sampah makanan. Korelasi kedua hal itu tidak terlepas dari permintaan pangan yang akan terus meningkat seiring jumlah penduduk yang semakin banyak.
Akar Persoalan dan Penyelesaian
Apabila dikaitkan dengan pengendalian iklim, sampah makanan merupakan persoalan yang paling mendasar. Alasannya, sampah dimaksud merupakan komponen yang langsung dihasilkan dan tidak bisa dilepaskan dalam keseharian masyarakat.
Secara teori, sampah makanan merupakan hasil ekonomi linear atau suatu aktivitas ekonomi yang memanfaatkan suatu produk hingga menjadi sampah (take-make-dispose). Jadi, semakin tinggi produksi serta konsumsinya maka semakin meningkat pula sampahnya.
Menyikapi kondisi tersebut, belakangan muncul pendekatan ekonomi sirkular. Artinya, memaksimalkan nilai penggunaan suatu produk dan komponennya secara berulang, sehingga tidak ada sumber daya yang terbuang (bi.go.id). Â Â Â Â
Berbagai riset menawarkan solusi penanganan sampah makanan berbasis ekonomi sirkular, sebut saja perbaikan proses produksi, implementasi good handling practice (pengemasan), pemanfaatan teknologi daur ulang, perubahan perilaku konsumsi, dll.
Dari sekian banyak solusi, dalam tulisan singkat ini, saya hanya akan mengambil satu cara penyelesaian yaitu perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Sampah makanan memang dihasilkan sejak proses produksi hingga fase konsumsi. Data menunjukkan, fase yang terakhir itulah yang paling berkontribusi menghasilkan sampah makanan. Â Â Â Â
Perubahan perilaku dapat dikatakan upaya yang paling terjangkau karena siapapun bisa melakukannya, asalkan ada kemauan. Jadi, tidak diperlukan keahlian khusus untuk menjalankannya.
Cukup dimulai dengan menanyakan kepada diri sendiri "Apakah Saya memerlukan makanan sebanyak itu?" Pertanyaan itu semestinya muncul pada saat-saat tertentu.