Jadi, untuk mengurangi risiko menjadi korban kejahatan menggunakan uang kertas ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan.
Pertama, bagi para pedagang, perlu berhati-hati apabila ada pembeli yang membayar uang pecahan besar (Rp50.000,00 dan Rp100.000,00) untuk transaksi kecil. Mengapa? Karena pelaku kejahatan umumnya menggunakan uang pecahan besar saat menjalankan aksinya.
Kedua, untuk transaksi dalam jumlah besar, usahakan dilakukan secara non tunai, seperti transfer, gesek kartu debit, dll.Â
Lebih baik lagi, dan jika memungkinkan, optimalkan transaksi kecil dilakukan pula secara non tunai, misalnya menggunakan QRIS. Transaksi non tunai sudah pasti menjauhkan risiko penggunaan uang palsu.Â
Ketiga, jika transaksi tunai tidak bisa dihindarkan, upayakan dalam jumlah kecil dan lembaran uang yang tidak banyak. Maksudnya, untuk memudahkan kita mengecek secara manual kondisi uang yang kita terima menggunakan teknik dilihat, diraba, dan diterawang.
Memang belum menjamin sepenuhnya aman, karena untuk menjaga keakuratan pengecekan itu diperlukan alat tambahan seperti neon ultra violet, atau alat portable lainnya yang banyak dijual.Â
Sayangnya, kurang lazim juga ke mana-mana membawa alat semacam itu. Dan pastinya, dalam proses pengecekan, perlu dilakukan secara hati-hati, karena bisa jadi menyinggung perasaan orang yang memberikan uang.
Kesimpulannya, kehati-hatian dalam melakukan transaksi tunai perlu kita kedepankan. Risiko menjadi korban kejahatan uang rupiah bisa menimpa siapa saja, sekalipun setiap hari kita berhadapan dengan uang.Â
Modus kejahatan pun bisa berulang, dan mungkin juga berkembang. Sembari, untuk membentengi diri, sesekali luangkanlah waktu mempelajari ciri-ciri uang rupiah yang asli.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H