Jumlah investor kripto di Indonesia telah menembus 17,4 juta pada Juli 2023, sebagaimana pernyataan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Angka itu rupanya lebih tinggi dari investor pasar modal yakni sebesar 11,42 juta pada periode yang sama, sesuai data Kustodiaen Efek Indonesia.
Kripto ini mirip rokok, sudah terbukti membahayakan dan dilarang, tetap saja dinikmati banyak orang. Sudah jutaan dollar (triliunan rupiah) investor di dunia melayang akibat penipuan, pencurian, atau kegagalan investasi kripto. Bank Indonesia pun telah melarang penggunaan kripto sebagai alat pembayaran di Indonesia, sesuai UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Â
Meskipun demikian, tetap saja aktivitas transaksi kripto tidak bisa dibendung. Data Bappebti menunjukkan bahwa transaksi kripto pada bulan Juni 2023 menembus nilai Rp8.96T. Dalam kondisi demikian, akhirnya pemerintah melalui Bappebti mengakui eksistensi kripto sebagai aset atau komoditi, bukan sebagai alat pembayaran. Â Â
Belakangan, semenjak berlakunya UU No. 3 No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan sektor Keuangan (UU PPSK), otoritas yang menangani kripto beralih dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan.
Konsekuensi Pengaturan
Sedikit mundur ke belakang, pada awal kripto ditemukan sekitar tahun 2008, daya tarik yang ditawarkan adalah independensinya dari campur tangan otoritas negara. Transaksi dan aliran pergerakan kripto pun tidak diawasi oleh otoritas.
Hal semacam itu tentu disenangi para investor karena privasi aktivitas kriptonya terjaga. Sayangnya, kelebihan itu disalahgunakan sebagian pihak untuk aktivitas kejahatan seperti pencucian uang atau pemerasan. Â Â
Namun, independensi kripto ternyata juga tidak selalu menggiurkan. Dengan independensi itu, investor tentunya tidak akan mendapat pelindungan dari negara. Tidak ada tanggung jawab negara yang melekat jika independensi dibiarkan.
Dengan berlakunya UU PPSK, otoritas mempunyai kewenangan mengintervensi aktivitas perdagangan aset kripto melalui pengaturan dan pengawasan. Kebijakan itu sudah semestinya diterapkan karena kipto merupakan instrumen investasi yang kompleks dan berisiko tinggi.
Ada beberapa konsekuensi dari munculnya peran otoritas.
Pertama, otoritas mempunyai kewajiban untuk memastikan pelindungan bagi para investor kripto. Tantangannya adalah bagaimana mencari bentuk pelindungan yang efektif. Mengingat, aset kripto ini mempunyai karakter yang berbeda dengan instrumen-instrumen investasi lainnya, misalnya saham.
Kedua, otoritas harus mempersiapkan strategi pengawasan yang mampu mencegah kejahatan-kejahatan memanfaatkan aset kripto. Lagi-lagi itu menjadi tantangan berat karena mekanisme transaksi kripto yang tertutup atau desentralisasi. Pendekatan yang dapat dilakukan diantaranya melalui pemantauan kewajaran saat terjadi transaksi pembelian dan penjualan menggunakan uang rupiah. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Ketiga, nilai transaksi aset kripto yang besar dan dilakukan di Indonesia tentunya dapat menjadi objek pajak. Pemerintah telah mempersiapkan hal itu dengan mengenakan pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan (PMK No. 68/PMK.03/2022). Otoritas pun perlu memastikan bahwa pedagang aset fisik kripto telah melaukan pendataan secara akurat kepada para investor pengguna jasa pedagang tersebut.
Independensi vs Regulasi
Perdagangan aset kripto sudah tidak dapat dicegah lagi sehingga otoritas perlu melakukan adaptasi atas kondisi itu. Memang, investor akan merasa senang ketika aktivitas transaksinya lepas dari campur tangan pemerintah dan otoritas (laissez faire).
Senang itu muncul ketika mereka untung. Ketika buntung, mereka akan bingung jika tidak ada peran dari negara. Untuk itulah, kehadiran regulasi untuk menjadi payung hukum sekaligus otoritas regulator adalah langkah terbaik.
Bagaimanapun, investor semestinya tetap mengedepankan investasi yang mengantarnya hidup nyaman bukan hidup runyam. Â Â Â Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H