Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Puncak Kebebasan Finansial itu Bersyukur

10 Agustus 2023   07:00 Diperbarui: 10 Agustus 2023   07:04 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, syukur mudah diucapkan tetapi tidak mudah dilakukan oleh kebanyakan manusia. Ada faktor-faktor yang menghalangi sikap bersyukur.    

Lihat ke Atas

Rasanya kita sudah sering mendengar pesan "dalam urusan harta, janganlah melihat ke atas". Ada benarnya jika dengan melihat ke atas muncul kecenderungan tidak mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Melihat yang lebih dari kita, untuk urusan harta, seperti tidak ada habisnya.

Ilustrasinya, staf dengan penghasilan bulanan 5 juta tentu merasa kurang ketika dihadapkan dengan manajernya yang bergaji 10 juta per bulan. Manajernya pun merasa kurang jika membandingkan dengan direkturnya yang bergaji Rp100 juta tiap bulan. Direktur pun merasa seperti itu saat mengintip pendapatan bulanan pemilik perusahaan yang mencapai Rp1 milyar. Dan seterusnya, tidak ada habisnya.

Jadi, membalik cara pandang adalah hal yang bijak untuk urusan harta. Tidak mudah merubah itu, kecenderungan kita memang melihat siapa yang lebih.

Perlu kerja keras dengan melatih diri secara bertahap dan berkelanjutan. Hingga pada saatnya akan terbentuk cara pandang melihat harta ke bawah. Cara pandang seperti itu akan membangkitkan rasa syukur pada apa yang sudah dimiliki.

Seorang staf meskipun belum bergaji tinggi bisa melihat teman sekolahnya yang tidak memiliki penghasilan karena masih menganggur.

Membandingkan diri

Dengan melihat kondisi orang lain, secara tidak langsung kita telah membandingkan diri kita. Tidak menjadi persoalan jika setelah membandingkan justru menyadarkan rasa syukur kita. Jadi persoalan bila yang terjadi sebaliknya, kita menjadi julid alias susah melihat orang senang.

Untuk yang terakhir, merupakan tantangan berat saat ini. Media sosial, media yang sudah melekat dalam hidup kita, menjadi media pamer (flexing) paling populer. Tanpa disadari, pamer dengan unggahan foto dan video sudah menjadi hal lumrah, sehingga nyaris membudaya.      

Sulit bagi pengguna media sosial untuk menanggalkan tendensi pembandingan diri. Saat melihat postingan teman, tanpa disadari kita kerap merasa "kalah" atau "kurang" dari orang lain. "Mengapa teman seangkatan sudah bisa beli mobil, saya belum", contoh reaksi spontan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun