Beberapa waktu yang lalu, istri saya mendapat Curhat-an wali kelas anak kami. Guru muda itu bercerita bagaimana kewalahannya dia menghadapi pertanyaan-pertanyaan muridnya. Pertanyaan yang menguji wawasan pengetahuan umum dia dan menurutnya, banyak pertanyaan yang diajukan adalah di luar atau bahkan di atas kurikulum kelas yang dia ajar.
Kami sebagai orangtua tentu takjub dengan trend perkembangan kemampuan anak-anak tersebut. Kami pun mencoba mengevaluasi apa saja yang biasa dilakukan anak kami sehari-hari, di luar jam sekolah.
Saya pun jadi ingat beberapa pertanyaan yang pernah dilontarkan anak saya, seperti:
“Yah, kenapa uang kita dibandingkan dollar melulu ya?”
“Kalau uang kita di bank, diapain ya sama banknya?”
“Mungkin ga sih Yah, orang hidup di Benua Antartika? kan dingin sekali”
Saya tahu jawabannya, tapi harus memutar otak mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan ke anak yang waktu itu baru saja masuk Sekolah Dasar. Di samping mencari jawaban yang mudah, saya juga mencari sumber ide pertanyaan itu.
Saya memang senang membelikan buku-buku ilmu pengetahuan bergambar atau komik science. Harapan saya, anak-anak akan tertarik dan membacanya. Kenyataannya tidak demikian, mereka hanya sekali dua kali membukanya dan kemudian ditaruh ke rak buku lagi. Jadi kesimpulannya, kecil kemungkinan sumber idenya dari buku.
Saya dan istri juga memberikan waktu anak saya, pada hari libur dan jam tertentu, untuk bermain smartphone, tentu terus sambil kami monitor dan dampingi penggunaanya. Di situlah saya tahu bahwa anak kami terpancing ide-ide pertanyaannya dari berbagai channel YouTube yang ditontonnya.
Sekarang banyak pilihan channel-channel edukatif yang menarik untuk ditonton anak-anak. Saya berpikir, kreatif sekali nih si konten kreator meramu sesuatu yang rumit menjadi menarik, misalnya dalam bentuk kartun lucu. Sebagian besar pun dapat diakses tanpa berbayar. Cara belajar dengan sesuatu yang atraktif seperti itu membuat anak-anak menikmati tontonannya, yang secara tidak sadar sekaligus menimba ilmu bermanfaat.
Cari Ilmu tanpa Buku
Perpustakaan Nasional (Perpusnas) setiap tahun merilis data Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) Masyarakat Indonesia. Tahun 2022, skor TGM mencapai 63,9 meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 59,2. Menurut Perpusnas, dengan pencapaian itu maka TGM Indonesia masuk dalam kategori tinggi dari sebelumnya sedang. Namun, riset Connecticut University tahun 2016 menunjukkan bahwa minat baca Indonesia berada pada ranking 60 dari 61 negara. Saya belum mendapatkan informasi terbaru mengenai ranking tersebut.
Saya tidak mempersoalkan pencapaian skor atau ranking tersebut. Yang saya perhatikan adalah memaknai aktivitas membaca anak-anak sekarang. Menumbuhkan minat membaca aksara dalam berlembar-lembar halaman di buku pada anak-anak menjadi tantangan yang berat untuk saat ini.
Tampilan visual dalam bentuk video nampaknya lebih menarik bagi mereka. Apabila kita kaitkan makna membaca dengan aktivitas menggali ilmu bermanfaat secara mandiri, menurut saya, dengan menonton konten video literasi pun sudah bisa dimasukkan dalam kategori membaca. Dengan kata lain, terdapat perbedaan media belajar dari buku ke konten namun tetap sama tujuannya yaitu menggali ilmu bermanfaat.
Dampingi Anak selama Belajar
Jika anak-anak masih enggan membaca buku kertas tetapi senang belajar melalui konten-konten video edukasi, menurut saya, orangtua dapat mendukungnya. Yang jelas, orangtua tetap menerapkan pembatasan penggunaan gadget, mengatur waktunya, dan telaten memonitor apa yang anak tonton. Penekanan saya, yang penting anak-anak enjoy dulu dengan aktivitas mencari ilmunya. Dengan cara yang nyaman itu maka proses belajar akan lebih efektif, syukur-syukur kegemaran mengeksplorasi pengetahuan akan terus berlanjut hingga dewasa.
Budayakan Membaca
Saya pribadi termasuk kelompok konvensional yang masih lebih menikmati menyentuh kertas saat membaca ketimbang memandang layar gawai. Kebiasaan membaca saya tumbuh karena faktor kesan awal yang menyenangkan terkait aktivitas tersebut. Hal itu tidak terlepas dari pendekatan jitu Ayah saya yang kerap membelikan komik-komik wayang dan Majalah Bobo ketika saya masih duduk di sekolah dasar.
Pembelajaran yang bisa saya tarik adalah menumbuhkan budaya membaca kepada anak tidak harus memaksanya untuk membaca buku. Biarkan mereka mengeksplorasi ilmu dengan cara yang paling menyenangkan menurut mereka. Anggap saja itu adalah aktivitas membaca gaya baru. Tumbuhkan kesan awal bahwa membaca itu menyenangkan. Orangtua tentu wajib menyediakan waktu untuk terus membimbing cara belajar yang mereka pilih. Sembari, secara bertahap kita ajak mereka mulai mencintai buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H