Penggunaan gadget berlebihan sudah pasti berdampak negative. Tidak hanya persoalan fisik, gangguan psikologis pun dapat muncul. Meskipun banyak diantara kita telah menyadarinya, tidak mudah atau bahkan mustahil melepaskan keterikatan dengan gadget.
Sulit memungkiri bahwa gadget sudah menjadi kebutuhan hidup kita, baik karena tuntutan pekerjaan maupun sekedar hiburan. Tentu bukan penggunaannya yang dilarang, tetapi pemakaian berlebihanlah yang tidak dapat dibiarkan. Untuk itu, perlu ada upaya untuk mengurangi atau mengendaliakannya.
Dalam buku Digital Minimalism, Cal Newport mengingatkan bahwa kita harus mampu mengendalikan pemakaian gadget agar dapat mendatangkan manfaat. Bukan sebaliknya, hidup kita dikendalikan oleh perangkat  tersebut. Memang benar yang dikatakan penulis itu, beragam aplikasi dan media social diciptakan agar kita semakin lama mengakses gadget.
Pendisiplinan diri dalam hal ini menjadi kuncinya. Sayangnya, tidak mudah melakukan itu. Berbagai gangguan, diantaranya notifikasi pesan, fear of missing out berita, naluri memperbaharui status, dll, memancing kita guna selalu berinteraksi dengan perangkat genggam.
Meskipun sulit, pembatasan diri tetap harus dilakukan. Untuk itu, perlu alat bantu berupa fitur digital wellbeing. Fitur ini sebenarnya sudah lama muncul di Android maupun IoS namun mungkin banyak diantara penggunanya yang belum memanfaatkannya.
Keberadaan fitur digital wellbeing sebenarnya sangat membantu untuk memantau durasi dan frekuensi sekaligus membatasi penggunaan gadget. Mengambil contoh digital wellbeing pada Android, berikut beberapa fiturnya:
1. App timer
Pengguna dapat men-setting waktu penggunaan suatu aplikasi dalam sehari. Ketika waktunya sudah habis maka aplikasi tidak dapat digunakan lagi (off). Pengguna dapat mengaktifkan fitur ini pada aplikasi-aplikasi tidak produktif tetapi berpotensi mengakibatkan ketagihan dan menyita waktu.
2. Bed time mode
Fitur ini membantu pengguna untuk mematikan notifikasi dan berbagai suara lainnya pada waktu tertentu, diantaranya periode tidur.
3. Focus mode
Mode ini membantu pengguna untuk mengaktifkan aplikasi-aplikasi tertentu saja pada periode tertentu, misalnya saat jam kerja. Tujuannya tidak lain untuk membantu pengguna tetap focus.
4. Screen time
Dengan mengaktifkannya maka pengguna dapat memantau lamanya pengguna membuka screen gadget dan waktu yang dihabiskan pada suatu aplikasi dalam sehari.
Tentunya, setiap orang akan berbeda dalam memanfaatkan fitur digital wellbeing, tergantung kebutuhan masing-masing. Misalnya, jika media social sekedar hiburan maka ada baiknya dilakukan pembatasan waktu. Hal itu tidak berlaku jika media social adalah sarana yang membantu pekerjaan (e-commerce, advertising, dll).
Seorang yang harus stand by menerima panggilan sewaktu-waktu juga tidak dapat sembarangan mematikan notifikasi gadgetnya, contoh polisi atau dokter.
Ketika mengaktifkan fitur digital wellbeing, tidak dengan serta merta aplikasi akan off sesuai setting-an. Sistem akan memberikan notifikasi berupa opsi untuk memperpanjang durasi penggunaan aplikasi (add more time). Di sinilah, kedisiplinan kita diuji. Jika hanya untuk memberikan kelonggaran waktu penggunaan aplikasi tanpa sebab yang penting atau darurat maka manfaat dari fitur digital wellbeing tidak akan optimal.
Demikian sekilas tulisan mengenai upaya mengatasi dan mencegah kecanduan pengguna gadget. Apapun cara yang diterapkan, kedisiplinan dan kemauan kita lah yang menentukan keberhasilannya. Pastinya, tidak ada yang mau hidup dipersusah oleh gadget yang semestinya memudahkan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H