Kebijakan Lion Air yang menerapkan bagasi berbayar sejak 22 Januari lalu masih menjadi perbincangan hangat. Masyarakat tampak masih keberatan.
Wajar, jika kebijakan bagasi ini meresahkan masyarakat pengguna jasa penerbangan. Pertama, maskapai yang menerapkannya adalah maskapai yang termasuk bertarif murah atau low cost carrier.Â
Kedua, karena bertarif murah maka menjadi pilihan utama umumnya masyarakat, bahkan sebagian diantara mereka sudah tergantung dengan maskapai ini karena menyediakan rute ke berbagai pelosok Indonesia.Â
Ketiga, pangsa pasarnya yang besar melalui penguasaan konsumen, layanan rute yang menggurita, disertai jumlah unit pesawat yang banyak mendekatkannya pada kemampuan memonopoli pasar.Â
Terakhir, keresahan masyarakat makin lengkap ketika tarif pesawat melonjak beberapa waktu terakhir ini (sudah tiket mahal bagasinya bayar). Hal itu dapat dilihat juga pada data Badan Pusat Statistik yang mencatatkan tiket pesawat sebagai penyumbang inflasi utama.
Sebenarnya, alasan maskapai mengenakan biaya bagasi sudah dapat diduga, yakni untuk keamanan dan kecepatan layanan sehingga mengurangi terjadinya delay (pas banget untuk Lion Air). Jika memang terbukti maka hal itu patut diapresiasi. Sayangnya, janji kualitas layanan itu sepertinya belum tampak. Penerbangan telat sejak penerapan bagasi 0 kg masih banyak terjadi (kecuali alasan cuaca buruk, masih bisa dimaafkan). Â
Dari aspek regulasi, pemerintah hingga saat ini memandang belum ada pelanggaran terhadap terkait pengenaan tarif ini. Alhasil dari berita yang beredar, maskapai murah lain, diantaranya Citilink, makin percaya diri untuk menyusul jejak kebijakan kompetitornya itu.
Dampak Yang Meluas
Hal yang sepertinya luput dari perhatian selain makin mahalnya menggunakan jasa penerbangan yaitu mulai tampak sepinya pembeli di berbagai UMKM oleh-oleh. Para pembeli tentunya mulai berhitung biaya bagasi yang harus dia bayar, yang bisa jadi lebih mahal dari oleh-oleh yang dia bawa.
Saya langsung melompat ke isu ini karena patut diakui bahwa penerbangan adalah salah satu penggerak ekonomi bangsa. Peralihan barang yang didagangkan dari satu tempat ke tempat lain difasilitasi oleh sarana penerbangan.
Maskapai dan pemerintah sepertinya mengesampingkan efek domino dari tarif bagasi ini. Jika dipaksa memaklumi, kitapun mungkin bisa berhitung secara kasar, nilai finansial dari penggerak ekonomi mikro (UMKM) ini tentunya tidak sebanding dengan perputaran uang bisnis penerbangan yang jauh lebih besar.
Jika kita pikirkan lagi, dampak lanjutannya mungkin bisa menghajar industri pariwisata domestik. Di tengah-tengah gencarnya promosi pariwisata dan target kunjungan yang tinggi tahun ini, sarana vital penerbangan justru terkesan menciptakan tembok penghalang.
Industri pariwisata, termasuk di dalamnya UMKM pendukungnya, tentu kelabakan. Mereka kalah posisi tawar (bargaining power) dengan maskapai. Mereka tidak cukup kuat untuk melawan kebijakan maskapai, kecuali  melalui tangan pemerintah.
Ujian Peran Pemerintah
Pemerintahlah yang memiliki peran utama mengatasi masalah ini. Sebagai otoritas penerbangan, pemerintah semestinya tidak berpandangan sempit dan kaku melihat kebijakan bagasi sebatas dari aspek regulasi yang ada (black letter law).Â
Semangat melindungi kepentingan yang lebih luas harus dikedepankan. Perlindungan itu tentu tidak hanya berdasarkan kalkulasi finansial saja (misalnya nilai bisnis penerbangan yang mahal) tetapi juga kepentingan lain yang lebih besar, industri pariwisata dan jutaan rakyat pelaku UMKM.
Regulasi bukanlah harga mati yang tidak bisa diganti. Pemerintah berwenang merubahnnya sekiranya tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. Ingat, regulasi tidak cukup hanya kepastian, keadilan dan kemanfaatan harus menyertainya pula.
Kehadiran pemerintah untuk masyarakat saat ini sedang diuji. Ketegasan dalam mengambil sikap sedang dtunggu oleh masyarakat. Jika berharap kesadaran dan kebaikan hati pelaku bisnis untuk membatalkan kebijakannya sepertinya hampir mustahil.Â
Kembali, pemerintahlah yang mampu 'memaksa' maskapai. Jika diniatkan tulus, bukan hanya untuk menguntungkan kepentingan kelompok kecil tertentu, upaya pemerintah semoga akan mengembalikan ketenangan masyarakat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H