Jika kita pikirkan lagi, dampak lanjutannya mungkin bisa menghajar industri pariwisata domestik. Di tengah-tengah gencarnya promosi pariwisata dan target kunjungan yang tinggi tahun ini, sarana vital penerbangan justru terkesan menciptakan tembok penghalang.
Industri pariwisata, termasuk di dalamnya UMKM pendukungnya, tentu kelabakan. Mereka kalah posisi tawar (bargaining power) dengan maskapai. Mereka tidak cukup kuat untuk melawan kebijakan maskapai, kecuali  melalui tangan pemerintah.
Ujian Peran Pemerintah
Pemerintahlah yang memiliki peran utama mengatasi masalah ini. Sebagai otoritas penerbangan, pemerintah semestinya tidak berpandangan sempit dan kaku melihat kebijakan bagasi sebatas dari aspek regulasi yang ada (black letter law).Â
Semangat melindungi kepentingan yang lebih luas harus dikedepankan. Perlindungan itu tentu tidak hanya berdasarkan kalkulasi finansial saja (misalnya nilai bisnis penerbangan yang mahal) tetapi juga kepentingan lain yang lebih besar, industri pariwisata dan jutaan rakyat pelaku UMKM.
Regulasi bukanlah harga mati yang tidak bisa diganti. Pemerintah berwenang merubahnnya sekiranya tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. Ingat, regulasi tidak cukup hanya kepastian, keadilan dan kemanfaatan harus menyertainya pula.
Kehadiran pemerintah untuk masyarakat saat ini sedang diuji. Ketegasan dalam mengambil sikap sedang dtunggu oleh masyarakat. Jika berharap kesadaran dan kebaikan hati pelaku bisnis untuk membatalkan kebijakannya sepertinya hampir mustahil.Â
Kembali, pemerintahlah yang mampu 'memaksa' maskapai. Jika diniatkan tulus, bukan hanya untuk menguntungkan kepentingan kelompok kecil tertentu, upaya pemerintah semoga akan mengembalikan ketenangan masyarakat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H