3 (Tiga) triliun rupiah adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk melakukan pencetakan uang selama 3 tahun terakhir. Angka itu juga termasuk biaya perencanaan dan pengadaannya. Mahal memang... Â
Mengapa pengelolaan uang memerlukan biaya tinggi? Salah satu penyebabnya adalah tingkat kelusuhan dan kerusakan yang cepat. Padahal, Bank Indonesia harus selalu menyediakan uang dalam kondisi yang baik atau layak edar. Dengan demikian, pencetakan uang semakin sering dilakukan menggantikan uang yang sudah tidak layak edar.
Tingkat kelusuhan dan kerusakan uang tidak terlepas dari perlakuan pemegang uang sendiri. Uang kertas sebenarnya telah dibuat dengan bahan dasar kualitas tinggi. Namun demikian, jika pemegang tidak menjaganya dengan baik maka kerusakan akan tetap terjadi.
Berikut ini hal-hal yang sangat sederhana tetapi sebenarnya merupakan kebiasaan buruk yang mempercepat kerusakan uang rupiah:
Melipat uang
Ini adalah kebiasaan yang paling banyak dilakukan. Melipat uang biasa dilakukan untuk kepraktisan agar bisa masuk kantong celana. Tindakan terebut biasa dilakukan pada saat memegang uang rupiah. Lain halnya ketika memegang uang asing, dollar misalnya. Orang akan cenderung sangat berhati-hati dan menyimpannya dengan rapi di dompet. Perilaku tersebut karena uang asing nilai tukarnya akan turun ketika ada cacat fisik. Ya begitulah, banyak diantara kita yang mengistimewakan uang asing dan mengabaikan perawatan terhadap uang negeri sendiri.
Menstaples uang
BIasa dilakukan oleh pedagang atau kasir-kasir toko. Maksud mereka mungkin agar uang itu rapi tersimpan. Sayang sekali, meski rapi tersimpan tetapi kondisi kertas uang akan cepat rusak atau robek. Menyimpan uang dalam kondisi rapi tidak perlu dengan staples tetapi cukup menggunakan tempat khusus atau penjepit kertas selama tidak merusak uang. Â Uang rupiah yang telah berlubang lebih dari 10 mm2 dan sobek lebih dari 8mm2 masuk dalam kriteria tidak layak edar.
Mencorat coret uang
Ini biasa dilakukan orang kreatif tapi salah tempat. Tidak semestinya uang sebagai alat tukar resmi dicorat coret. Sebagian orang bahkan menganggap perilaku tersebut juga merupakan bentuk sikap pelecehan terhadap symbol gambar pahlawan pada uang. Uang rupiah yang telah terkena coretan, noda, atau stempel masuk dalam kategori rupiah tidak layak edar. Â
Merangkai uang untuk seserahan
Memang suatu tradisi yang unik, menyusun dan merangkai sejumlah uang sedemikian rupa sehingga menjadi semacam karya seni. Sayangnya, Â kebanyakan karya semacam itu merupakan hasil lipatan uang (uang dilipat seperti origami). Tentu hal tersebut tidak tepat, selain mempercepat kerusakan uang juga menghilangkan fungsinya sebagai alat pembayaran. Pada umumnya seserahan semacam itu hanya menjadi pajangan. Mungkin akan lebih baik uang untuk seserahan tidak perlu dirangkai, toh pada akhirnya bisa lebih bermanfaat. Â
Hal-hal di atas sudah sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sesuatu yang sulit menghilangkan kebiasaan-kebiasan tersebut. Sudah pasti, sebagian besar dari kita memperoleh uang rupiah dengan jerih payah. Menghargai kerja keras kita tidak hanya membelanjakan uang secara bijak, tetapi juga menjaga dan merawatnya dengan baik.
Semoga bermanfaat.
Sumber:Â Standar Kualitas Uang Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H