Wacana penetapan harga rokok Rp50 ribu/ bungkus atau sebagian pihak malah menyatakan Rp50 ribu baru cukainya saja sehingga harga rokoknya bisa mencapai Rp70 ribuan. Apapun itu, yang jelas lintingan tembakau dengan harga Rp50 ribu saja untuk sebagian besar penduduk sudah sangat mahal. Jika seandainya wacana itu menjadi kenyataan, tentu kita sudah tahu apa alasannya, tak lain adalah perintah untuk “Berhentilah kau para perokok!”. Tapi saya melihat permasalahan tidak sesederhana itu, mari kita lihat satu per satu.
Rokok ‘Dibenci Tapi Disayang’
Entah sudah berapa macam cara dilakukan untuk menghentikan para perokok. Sebut saja, peringatan bahaya rokok di setiap iklannya (kayaknya engga kebaca para smokers), pemasangan gambar mengerikan di bungkus rokok (yang ini dicuekin juga oleh rokok mania), ancaman rokok benda mematikan (ada perokok yang umurnya nimbus 80 tahun, nah lo), hingga denda bagi perokok (jarang ditegakkan), semua cara itu tidak ada yang mempan mematikan hobi berasap ini. Ditambah lagi, perokok pun masih tidak mengenal kasta, dari para pengangguran hingga konglomerat, dari yang SD saja tidak jebol hingga professor, dari yang muda hingga yang telah beraroma tanah.
Alhasil, pebisnis rokok pun menduduki peringkat tinggi di daftar orang terkaya dan sekaligus rokok memberikan sumbangan luar biasa bagi pendapatan Negara. Pada tahun 2015, penghasilan Negara dari cukai rokok mencapai Rp139,5 T, fantastis. Namun, di sisi lain Iklatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia pernah melakukan survei bahwa kematian rokok mencapai 405.720 orang, atau artinya setiap jam sekitar 46 orang meninggal akibat rokok, 14,5% korban meninggal adalah remaja.
Dari situlah terjadi tarik ulur menyikapi rokok ini. Dibenci karena memang dianggap sebagai alat pembunuh massal. Disayang karena kenyataan membuktikan rokok dapat menjadi mesin uang Negara.
Rokok Nan Mahal
Setelah upaya larangan merokok tidak berhasil, ide memerangi kebiasaan merokok melalui pendekatan ekonomi mulai muncul. Wacana menaikkan harga rokok cukup gencar pasca penerbitan hasil penelitian FKM UI pimpinan Hasbullah Thabrany. Mereka mengklaim bahwa 70% lebih responden, yang sebagian adalah perokok, akan berhenti merokok ketika rokok dipatok dengan harga Rp50 ribu per bungkus. Periset berharap bahwa dengan menaikkan harga rokok maka setidaknya dapat mengurangi pengguna rokok bagi kalangan pelajar dan masyarakat menengah ke bawah. Masuk akal juga jika kita mempertimbangkan hal-hal berikut:
- Rokok 50 ribu = mahal
Harga Rp50 ribu untuk sebungkus rokok bagi rata-rata pelajar dan masyarakat menengah ke bawah dengan tingkat ekonomi sekarang tentu sangatlah mahal.
- Rokok penyebab kemiskinan
Mengutip hasil kajian BPS, rokok mempunyai share terbesar kedua setelah beras yang berkontribusi terhadap garis kemiskinan. Suryamin, Kepala BPS, menyimpulkan bahwa ketika seseorang dinyatakan miskin ini merokok, ada kemungkinan ia menjadi tidak miskin apabila mengalihkan pengeluaran yang semula untuk rokok menjadi pengeluaran untuk komoditi makanan yang memiliki kilokalori.
- Tingginya perokok usia muda
Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2015, BPS mencatat penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengkonsumsi rokok sebanyak 22,57% di perkotaan dan 25,05% di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan dalam seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan (Sumber BPS).
- Rokok bukan termasuk kebutuhan primer
Rokok jelas bukan kebutuhan primer. Ketika harga rokok menjadi sangat mahal, masyarakat berpenghasilan pas-pas an pasti akan berpikir keras sebelum membeli rokok. Rokok akan menjelma menjadi barang mewah bagi mereka.
Dilema Rokok Mahal
Dua kubu pro dan kontra kenaikan harga rokok mempunyai argumentasi sendiri-sendiri:
Yang kontra berpendapat: Selain rokok adalah penyumbang cukai terbesar, benda berasap tersebut juga merupakan usaha yang memperkejakan ribuan karyawan. Coba, seandainya rokok dilarang atau orang tidak mau membeli rokok lagi kemudian pabrik rokok tutup. Berapa ribu buruh pabrik yang akan kehilangan pekerjaan? Sebut saja 1.000 karyawan terkena PHK. Masing-masing karyawan menanggung 1 istri dan 2 anak. Dapat kita kalkulasi betapa besarnya potensi masalah social ekonomi baru akan tercipta.
Hasbullah Thabrany menjelaskan bahwa kenaikkan harga rokok tidak dimaksudkan untuk menghentikan bisnis rokok, tetapi lebih pada pengurangan jumlah perokok. Dalam satu kesempatan, Ia menjelaskan bahwa meski jumlah perokok berkurang tapi harga akan naik sehingga perusahaan tidak akan rugi atau bahkan memperoleh keuntungan lebih.
Pihak yang pro memegang keyakinan bahwa dengan semakin sedikitnya jumlah perokok maka diharapkan biaya kesehatan efek dari rokok dapat ditekan, dan menegaskan kembali pernyataan BPS bahwa jumlah kemiskinan karena rokok pun dapat dikurangi.
***
Entahlah apakah kalkulasi dampak kenaikan harga rokok tepat atau meleset. Yang jelas penanganan masalah rokok ini memang bagai buah simalakama. Saya pribadi yang kebetulan tidak merokok cenderung mendukung upaya pengurangan jumlah perokok (karena untuk menghapuskan rokok sepertinya masih jadi harapan kosong). Namun, saya juga menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dari sokongan besar cukai rokok dan kemampuan bisnis rokok untuk menyerap ribuan tenaga kerja tidak dapat diabaikan begitu saja.
Di akhir tulisan ini, saya berharap bahwa pemerintah dengan dukungan masyarakat dapat menemukan jalan tengah penanganan masalah rokok. Kalau memang jalan terbaik adalah menaikkan harga rokok, ya monggo saja. Yang pasti, kita harus tetap mengambil langkah pasti untuk menangani problem rokok yang sudah menahun ini.
Salam Kompasiana…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H