Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dilema Rokok, Dibenci dan Dicinta

28 Agustus 2016   11:50 Diperbarui: 28 Agustus 2016   12:26 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

- Tingginya perokok usia muda

Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2015, BPS mencatat penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengkonsumsi rokok sebanyak 22,57% di perkotaan dan 25,05% di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan dalam seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan (Sumber BPS).

- Rokok bukan termasuk kebutuhan primer

Rokok jelas bukan kebutuhan primer. Ketika harga rokok menjadi sangat mahal, masyarakat berpenghasilan pas-pas an pasti akan berpikir keras sebelum membeli rokok. Rokok akan menjelma menjadi barang mewah bagi mereka.

Dilema Rokok Mahal

Dua kubu pro dan kontra kenaikan harga rokok mempunyai argumentasi sendiri-sendiri:

Yang kontra berpendapat: Selain rokok adalah penyumbang cukai terbesar, benda berasap tersebut juga merupakan usaha yang memperkejakan ribuan karyawan. Coba, seandainya rokok dilarang atau orang tidak mau membeli rokok lagi kemudian pabrik rokok tutup. Berapa ribu buruh pabrik yang akan kehilangan pekerjaan? Sebut saja 1.000 karyawan terkena PHK. Masing-masing karyawan menanggung 1 istri dan 2 anak. Dapat kita kalkulasi betapa besarnya potensi masalah social ekonomi baru akan tercipta.

Hasbullah Thabrany menjelaskan bahwa kenaikkan harga rokok tidak dimaksudkan untuk menghentikan bisnis rokok, tetapi lebih pada pengurangan jumlah perokok. Dalam satu kesempatan, Ia menjelaskan bahwa meski jumlah perokok berkurang tapi harga akan naik sehingga perusahaan tidak akan rugi atau bahkan memperoleh keuntungan lebih.

Pihak yang pro memegang keyakinan bahwa dengan semakin sedikitnya jumlah perokok maka diharapkan biaya kesehatan efek dari rokok dapat ditekan, dan menegaskan kembali pernyataan BPS bahwa jumlah kemiskinan karena rokok pun dapat dikurangi.

***

Entahlah apakah kalkulasi dampak kenaikan harga rokok tepat atau meleset. Yang jelas penanganan masalah rokok ini memang bagai buah simalakama. Saya pribadi yang kebetulan tidak merokok cenderung mendukung upaya pengurangan jumlah perokok (karena untuk menghapuskan rokok sepertinya masih jadi harapan kosong). Namun, saya juga menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dari sokongan besar cukai rokok dan kemampuan bisnis rokok untuk menyerap ribuan tenaga kerja tidak dapat diabaikan begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun