Mohon tunggu...
Haris Prasetyo Hadi Santoso
Haris Prasetyo Hadi Santoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercubuana

NIM : 55520110056

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2 - Prof Apollo " Harmonisasi Perpajakan bagi Pekerja dan Pemilik Modal"

12 November 2021   10:25 Diperbarui: 12 November 2021   10:36 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Harmonisasi Perpajakan Pekerja dan Pemilik Modal 

(Makul Pajak Internasional, Haris Prasetyo Hadi Santoso, 55520110056)

Konflik antara pekerja dan pemilik modal bukanlah karena karyawan cemburu atau bahwa majikan egois, tetapi kepentingan kedua pihak ini secara objektif saling bertentangan secara langsung satu sama lain. Ada tiga unsur dalam pandangan kelas tersebut yang dikemukakan oleh Karl Marx.

Pertama, besarnya peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Perbedaan pendapat antara pekerja dan pemilik modal bersifat objektif karena kepentingan mereka ditentukan oleh posisinya masing-masing dalam proses produksi. Oleh karena itu, seruan bagi masing-masing pihak untuk menyelesaikan sengketa tidak dapat dicapai dengan mufakat.

Kedua, kepentingan kelas pemilik modal dan buruh secara objektif sudah bertentangan. Hal ini menyebabkan masing-masing kelompok mengambil posisi yang berbeda dalam perubahan sosial. Pemilik modal konservatif, sementara pekerja revolusioner. Pemilik modal sebisa mungkin menjaga status quo, sedangkan karyawan berkeinginan untuk melakukan perubahan.

Ketiga, kemajuan dalam susunan masyarakat hanya bisa dicapai melalui revolusi. Kelas bawah tertarik untuk melawan dan menggulingkan kelas atas. Sementara itu, kelas atas berusaha mempertahankan kekuasaannya. Oleh karena itu, perubahan sistem sosial hanya dapat dilakukan dengan kekerasan, melalui revolusi

Berdasarkan teori Karl Marx ini perlu adanya keseimbangan keadilan yaitu melalui Perpajakan. dimana pemerintah diharapkan menjadi titik tengah dalam menyalurkan kepentingan kelas pemilik modal dan buruh. Pemilik modal dalam aturan Perpajakan sebagai pekerja bebas memiliki kewajiban membayar pajak dengan tarif lebih besar sesuai laba usaha yang telah disesuaikan dengan ketententuan fiskal. Adapun keseimbangan untuk buruh atau pekerjaan tidak bebas, atau pajak penguasilan dari pemberi kerja memiliki ketententuan yang bersifat progressive dalam tarif perpajakan.

Adapun menurut Adam Smith dalam salah satu bukunya yang berjudul An Inquiry in to the Nature and Causes of the Wealth of Nation (dikenal dengan The wealth of Nation), Buku ini menjadi acuan bagi semua undang-undang perpajakan di suatu Negara, karena tidak menutup kemungkinan Wajib Pajak mau membayar pajak jika memenuhi 4 (empat) unsur, unsur – unsur tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Prinsip Keseimbangan (Equality), Prinsip ini menjelaskan tentang keadilan dan bahwa pemungutan pajak pemerintah harus sesuai dengan kemampuan dan pendapatan wajib pajak. Pemerintah tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap wajib pajak. Sistem pajak yang adil adalah perlakuan yang sama terhadap orang atau organisasi dalam posisi ekonomi yang sama.

Kedua, Prinsip Kepastian Hukum (Certainty), ini berbicara tentang semua pungutan pajak yang harus berdasarkan undang-undang, sehingga pelanggarnya dikenakan sanksi hukum. Kepastian hukum merupakan tujuan dari setiap hukum. dalam membuat undang-undang dan peraturan publik yang mengikat. Ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut harus jelas dan tegas serta tidak mengandung makna ganda atau memberikan peluang penafsiran lain.

Ketiga, Prinsip Ketepatan Penagihan (Convenience Of Payment), Pajak harus dipungut pada waktu yang tepat bagi Wajib Pajak (waktu terbaik), seperti pada saat Wajib Pajak baru saja menerima penghasilannya atau pada saat Wajib Pajak menerima hadiah. Waktu yang paling tepat dicapai dengan memotong atau memungut pajak dari sumbernya, yaitu semua wajib pajak menerima penerimaan, yaitu ketika pemerintah memotong penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak yang menerima penerimaan melalui pemungut pajak.

Keempat, Prinsip Ekonomis (Economy in Collection) , Prinsip ini berbicara tentang biaya pemungutan pajak, dalam melakukan pemungutan tersebut untuk mencapai efisiensi semaksimal mungkin agar biaya pemungutan pajak tidak melebihi hasil pemungutan pajak.

Dengan adanya penerimaan pajak tersebut diharapkan tax return yang maksimal. Pemerintah dapat menyediakan infrastructur untuk kelangsungan usaha. Dan Usaha yang berkembang diharapkan dapat menjadikan masyarakat sebagai buruh yang tercapai kesejaterahan yang berkecukupan. yang menjadi prinsip dalam rangka pencapaian keadilan pajak di sini adalah keseriusan pemerintah dengan wakil rakyat dalam membuat kontrak sosial yang dapat memenuhi kebutuhan negara dari sisi pembiayaan dengan tetap melindungi dan menciptakan distribusi pendapatan yang adil untuk masyarakatnya. Dengan demikian akan terjadi kesepakatan yang fair (adil) dan aturan tersebut dapat diberlakukan dan cocok dengan kehidupan sosial ekonomi.

Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave dalam buku yang berjudul Public Finance in Theory and Practice,  menjelaskan dalam mancapai keadilan ada dua pendekatan sebagai tolak ukur yaitu benefit approach dan ability to pay approach. Prinsip pengenaan pajak berdasarkan pendekatan manfaat (benefit approach) adalah, Bahwa dalam sistem perpajakan yang adil, semua wajib pajak harus membayar sesuai dengan manfaat dari setiap kegiatan public yang diberikan pemerintah dan dinikmati oleh seluruh masyarakat. Contohnya seperti insfraturktur transportasi, Pendidikan, dan Kesehatan. Sedangkan prinsip kemampuan untuk membayar berdasarkan daya pikul Wajib pajak (ability to pay approach) adalah, bahwa Wajib pajak membayar pajak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Wajib pajak dalam memperoleh penghasilan dalam kehidupan ekonomi yang berbeda-beda, Pemerintah hadir dalam melalui system perpajakan yang adil menerapkan tarif yang sesuai dan berkeadilan. Wajib pajak dengan solvabilitas yang sama memiliki beban pajak yang sama (keadilan horizontal) dan wajib pajak dengan kemampuan yang berbeda memiliki beban pajak yang sama (keadilan vertikal).

Kondisi terkini terkait peraturan perpajakan, pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan undang-undang berupa Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang merupakan suatu undang-undang yang akan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia karena erat kaitannya dengan penerimaan negara dan kewajiban keuangan warga negaranya. Seperti peraturan-peraturan yang dikeluarkan sebelumnya, UU HPP juga menimbulkan beberapa pertentangan di masyarakat.  Reaksi masyarakat pasca berlakunya UU HPP tampaknya tidak terlalu negative sebelum UU tersebut diberlakukan. Hal ini dimungkinkan karena UU HPP telah memasukkan masalah kontribusi publik yang sebelumnya dipermasalahkan, masalah pajak pertambahan nilai atas barang-barang pokok, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan. Tidak kalah pentingnya, UU HPP didasarkan pada asas keadilan, asas yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia saat ini.

UU HPP merevisi terkait  tarif PPH terutang kepada Wajib Pajak Orang Pribadi  baik interval besaran Penghasilan Kena Pajak (PKP) maupun tarif progresif.  Pengenaan pajak penghasilan yang lebih tinggi kepada orang kaya sesuai dengan tujuan negara Indonesia, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, dan bukan untuk mensejahterakan golongan tertentu. Selain itu, beban ini akan menjadi solusi dari masalah ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia selama ini.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa WP OP yang kaya memiliki bisnis atau perusahaan untuk meningkatkan nilai aset yang dimiliki. Mereka sebagai pemilik usaha (owners), dapat menciptakan usaha melalui usaha, yaitu membuat, mengelola dan menggabungkan beberapa usaha. Dalam konteks perencanaan ekonomi, merger dapat dianggap sebagai strategi yang efektif untuk bersaing dan menguasai prinsip-prinsip produksi dan pasar, dan pada akhirnya dapat meningkatkan nilai manfaat ekonomi bagi pemilik perusahaan.

Aset dapat ditingkatkan dengan meningkatkan nilai saham mereka, dan pendapatan langsung (kompensasi) yang mereka terima ketika mereka menjadi manajer atau mengelola perusahaan sebagai bagian dari grup. Hal ini dapat dilakukan karena sebagian besar dari mereka dapat menempatkan dirinya dan keluarganya pada posisi pemimpin, pejabat, dan profesional lainnya.

dari penjelasan di atas, dapat kita Tarik kesimpulan bahwa Undang-undang HPP merupakan jantung dari asas keadilan perpajakan apabila diterapkan dengan baik. Warga negara yang kaya secara efektif akan terbebani yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga negara yang kurang mampu. Selain itu, berdasarkan UU HPP, upaya hukum untuk menghindari kewajiban pajak dapat dikurangi. Namun, perubahan yang diterbitkan dalam UU HPP tidak akan berjalan dengan baik apabila kepastian hukum tidak berkembang. Pemerintah perlu meningkatkan keterampilan dalam pemeriksaan wajib pajak, karena perubahan ini melibatkan pencatatan laporan keuangan perusahaan yang lebih kompleks. Selain itu, proporsi pemeriksa harus ditingkatkan untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun