Dewasa ini informasi yang berkembang di masyarakat banyak diwarnai oleh santernya berita tentang perselingkuhan, baik yang dilakukan oleh masyarakat papa maupun oleh publik figure tanah air. Tak Pelak, banyak sekali penerima informasi yang sebagian besar adalah emak-emak zaman now yang gegegetan dengan ulah para pelaku perselingkuhan tersebut.
Tidak tanggung-tanggung, masyarakat bahkan telah membuat sebuah istilah tertentu bagi mereka yang melakukan kegiatan perselingkuhan, sebut saja Pelakor (Perebut Laki Orang), Valakor, Valak, dan banyak lagi istilah lain yang digunakan.Â
Berita yang paling santer adalah fenomena tentang "pelabrakan" seorang anak kepada salah seorang artis ibukota yang diindikasikan berselingkuh dengan ayah si anak. Kejadian ini bahkan viral pada di media sosial. Banyak kanal media sosial yang kemudian menyiarkan kejadian "pelabrakan" tersebut.
Bahkan, dengan terang-terangan si anak dan ibunya memenuhi undangan sebuah stasiun televisi swasta untuk memberikan klarifikasi terhadap tindakan yang telah dilakukan si anak saat melakukan tindakan "pelabrakan". Info terakhir menyebutkan ternyata antara si artis dengan bapak si anak tersebut telah melakukan nikah siri sejak tahun 2014.Â
Nikah siri, sebuah fenomena yang beberapa tahun belakangan sempat menghilang kini mulai muncul lagi ke permukaan. Pernikahan siri adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang dengan adanya wali, memenuhi rukun dan syarat nikah namun tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA), baik yang dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak maupun melalui tipus muslihat dari salah satu pihak atau bahkan melalui perantara oknum yang mengatakan dapat membantu menguruskan Buku/Akta Nikah.Â
Secara historis, munculnya istilah nikah siri pada dasarnya mengalami pergeseran makna sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada masa sebelum diterbitkannya undang-undang tersebut istilah nikah siri didefinisikan sebagai pernikahan yang di-siri-kan atau dirahasiakan. Pernikahan ini pada umumnya tidak melakukan kegiatan walimatun nikah sebagai media sosialisasi dan pemberitahuan bahwa ahlul bait telah menikah. Setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, paradigma tersebut mengalami perubahan.
Nikah siri didefinisikasn sebagai sebuah pernikahan yang sah secara agama dan bisa jadi sosial akan tetapi tidak dicatatkan secara hukum kepada instutusi yang berwenang, dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan muslim dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi pasangan non-muslim.Â
Konsekuensi logis atas hal tersebut adalah kedua mempelai tidak dapat menunjukkan identitas perkawinannya dimata hukum. Kondisi ini dapat memberikan dampak yang merugikan, baik dari sisi sosial maupun hukum, kepada perempuan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan siri tersebut.Â
Pernikahan Siri Lebih Banyak Membawa Konsekuensi Buruk Bagi Istri dan Anak
Pernikahan siri banyak membawa konsekuensi yang tidak baik bagi perempuan dan anak. Perempuan yang menikah secara siri tidak memiliki status hukum terhadap suami yang berarti tidak memiliki hak terhadap waris, hak mendapatkan nafkah, dan hak mendapatkan penghidupan setelah terjadinya perceraian . Pernikahan ini nantinya juga memiliki konsekuensi terhadap tidak adanya pembagian harta pernikahan (gono-gini).
Pernikahan siri juga membuat kemungkinan pasangan untuk bercerai menjadi lebih mudah, karena talak cukup dijatuhkan dan tidak membutuhkan proses hukum ke depannya. Tuntutan hukum (dalam kasus nikah siri poligami) juga dapat terjadi kepada perempuan apabila pernikahan siri tersebut tidak diketahui secara jelas oleh istri pertama suami. Pernikahan siri ini mengandung unsur pidana apabila dalam pelaksanaanya tidak diketahui oleh istri pertama sebagaimana telah diatur pada pasal 279 dan pasal 284 Ayat (1) UU KUHP.Â