Mohon tunggu...
Haris Muzakky
Haris Muzakky Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Nikah Siri: Potensi Pencideraan terhadap Hak Sipil Perempuan dan Anak

4 April 2018   11:30 Diperbarui: 4 April 2018   11:51 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: khazanah.republika.co.id

Dewasa ini informasi yang berkembang di masyarakat banyak diwarnai oleh santernya berita tentang perselingkuhan, baik yang dilakukan oleh masyarakat papa maupun oleh publik figure tanah air. Tak Pelak, banyak sekali penerima informasi yang sebagian besar adalah emak-emak zaman now yang gegegetan dengan ulah para pelaku perselingkuhan tersebut.

Tidak tanggung-tanggung, masyarakat bahkan telah membuat sebuah istilah tertentu bagi mereka yang melakukan kegiatan perselingkuhan, sebut saja Pelakor (Perebut Laki Orang), Valakor, Valak, dan banyak lagi istilah lain yang digunakan. 

Berita yang paling santer adalah fenomena tentang "pelabrakan" seorang anak kepada salah seorang artis ibukota yang diindikasikan berselingkuh dengan ayah si anak. Kejadian ini bahkan viral pada di media sosial. Banyak kanal media sosial yang kemudian menyiarkan kejadian "pelabrakan" tersebut.

Bahkan, dengan terang-terangan si anak dan ibunya memenuhi undangan sebuah stasiun televisi swasta untuk memberikan klarifikasi terhadap tindakan yang telah dilakukan si anak saat melakukan tindakan "pelabrakan". Info terakhir menyebutkan ternyata antara si artis dengan bapak si anak tersebut telah melakukan nikah siri sejak tahun 2014. 

Nikah siri, sebuah fenomena yang beberapa tahun belakangan sempat menghilang kini mulai muncul lagi ke permukaan. Pernikahan siri adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang dengan adanya wali, memenuhi rukun dan syarat nikah namun tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA), baik yang dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak maupun melalui tipus muslihat dari salah satu pihak atau bahkan melalui perantara oknum yang mengatakan dapat membantu menguruskan Buku/Akta Nikah. 

Secara historis, munculnya istilah nikah siri pada dasarnya mengalami pergeseran makna sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada masa sebelum diterbitkannya undang-undang tersebut istilah nikah siri didefinisikan sebagai pernikahan yang di-siri-kan atau dirahasiakan. Pernikahan ini pada umumnya tidak melakukan kegiatan walimatun nikah sebagai media sosialisasi dan pemberitahuan bahwa ahlul bait telah menikah. Setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, paradigma tersebut mengalami perubahan.

Nikah siri didefinisikasn sebagai sebuah pernikahan yang sah secara agama dan bisa jadi sosial akan tetapi tidak dicatatkan secara hukum kepada instutusi yang berwenang, dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan muslim dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi pasangan non-muslim. 

Konsekuensi logis atas hal tersebut adalah kedua mempelai tidak dapat menunjukkan identitas perkawinannya dimata hukum. Kondisi ini dapat memberikan dampak yang merugikan, baik dari sisi sosial maupun hukum, kepada perempuan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan siri tersebut. 

Pernikahan Siri Lebih Banyak Membawa Konsekuensi Buruk Bagi Istri dan Anak

Pernikahan siri banyak membawa konsekuensi yang tidak baik bagi perempuan dan anak. Perempuan yang menikah secara siri tidak memiliki status hukum terhadap suami yang berarti tidak memiliki hak terhadap waris, hak mendapatkan nafkah, dan hak mendapatkan penghidupan setelah terjadinya perceraian . Pernikahan ini nantinya juga memiliki konsekuensi terhadap tidak adanya pembagian harta pernikahan (gono-gini).

Pernikahan siri juga membuat kemungkinan pasangan untuk bercerai menjadi lebih mudah, karena talak cukup dijatuhkan dan tidak membutuhkan proses hukum ke depannya. Tuntutan hukum (dalam kasus nikah siri poligami) juga dapat terjadi kepada perempuan apabila pernikahan siri tersebut tidak diketahui secara jelas oleh istri pertama suami. Pernikahan siri ini mengandung unsur pidana apabila dalam pelaksanaanya tidak diketahui oleh istri pertama sebagaimana telah diatur pada pasal 279 dan pasal 284 Ayat (1) UU KUHP. 

Hal yang sama juga akan dirasakan oleh anak yang dihasilkan dari pernikahan siri. Secara hukum anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu, yang berarti hak terhadap waris dan keturunan secara negara tidak dapat diakui atau disebut dengan anak luar kawin. Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tua-nya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. 

Selama belum ada putusan pengadilan mengenai pengakuan sang ayah terhadap anak hasil pernikahan siri, maka anak tersebut menurut Pasal 43 ayat (1) UUP jo. pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak berhak mewaris dari ayahnya. Sebab, sang anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Sedangkan, menurut Pasal 863 KUHPerdata, jika anak hasil pernikahan siri itu diakui oleh ayahnya maka ia berhak mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah. Rumitnya pengurusan terhadap hak sipil anak yang dihasilkan dari pernikahan siri inilah yang seringkali menyebabkan orang tua malu untuk mencatatkan kelahiran anaknya disebut sebagai "anak ibu" kendati saat ini telah diberlakukan pembebasan biaya terhadap pengurusan akte kelahiran tersebut. 

Terdapat satu mekanisme yang dapat ditempuh oleh Pasangan Nikah Siri (Bukan Poligami) untuk bisa mengesahkan pernikahan mereka secara agama, yaitu permohonan penetapan pernikahan bagi non muslim dan isbat nikah bagi pasangan muslim. 

Permohonan penetapan pernikahan dapat dilakukan di Pengadilan Negeri sedangkan permohonan isbat nikah dapat dilakukan di Pengadilan Agama. Permohonan pengesahan pernikahan dan isbat nikah hanya bisa dilakukan apabila memenuhi beberapa kriteria berikut;

  1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
  2. Hilangnya Akta Nikah;
  3. Keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
  4. Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
  5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
     
    Isbat Nikah Di Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan. (Dokumen pribadi)
    Isbat Nikah Di Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan. (Dokumen pribadi)

Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya penetapan pengadilan yang dapat digunakan oleh pasangan nikah sebagai persyaratan pengajuan buku nikah di KUA bagi pasangan muslim dan Akta Nikah di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi pasangan non muslim. 

Pernikahan siri tidak selamanya menjadi aib, karena banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah siri:

  1. Pernikahan dilakukan sebelum tahun 1974 dimana Undang-Undang Perkawinan disahkan sehingga otomatis pasangan tidak memiliki buku nikah
  2. Kondisi geografis, sebagaimana pengakuan salah seorang pasangan yang berasal dari Desa Gombong, Kecamatan Kandangserang, Kabupaten Pekalongan yang mengikuti Isbat Nikah, banyak masyararkat di desanya yang tidak mengurus surat nikah di KUA disebabkan oleh ketiadaan akses transportasi. Masyarakat harus berjalan denga  jarak yang sangat jauh yaitu berjalan kaki selama 1 hari untuk sampai di KUA. 
  3. Kondisi mental masyarakat, utamanya di pedalaman, yang beranggapan bahwa akta nikah bukan hal penting sebagamana kepemilikan dokumen kependudukan dan pencatatan sipil lainnya juga dirasa tidak penting. 
  4. Permainan oknum, baik yang berasal dari instansi yang ditunjuk untuk mengeluarkan buku dan akta nikah maupun orang lain, yang tidak mencatat dan mengeluarkan buku nikah hasil pernikahan resmi. Kondisi ini terjadi meskipun jarang ditemui. 

Penulis menyarankan, apabila anda belum memiliki akta nikah segeralah mengajukan permohonan isbat nikah kepada Pengadilan Agama dan Permohonan Penetapan Pernikahan kepada Pengadilan Negeri. Semoga artikel ini memberikan manfaat bagi semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun