Sejak dua atau tiga tahunan lalu banyak terjadi badai kepentingan di lembaga PTKIN di bawah naungan Kemenag. Akar masalahnya adalah munculnya Peraturan Kementerian Agama nomor 68 tahun 2015 yang memuat bahwa rektor Perguruan Tinggi Negeri di bawah Kemenag dipilih, diangkat dan ditetapkan oleh menteri.
 Mengacu dalam PMA tersebut pula menteri memiliki kendali penuh dalam mengangkat dan menetapkan rektor. Menteri harus memilih beberapa anggota tim penyeleksi, namun anggota tersebut juga dipilih oleh menteri. Tim penyeleksi tersebut hanya merekomendasikan tiga calon nama rektor yang akan dipilih.Â
Sah sah saja menteri menyodorkan nama lain di luar rekomendasi tim penyeleksi. Dalam pemilihan rektor UIN Maliki Malang dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki kecenderungan yang mengarah kepada hal tersebut.
Kekuasaan di mana-mana memiliki kecenderungan bagi pemegangnya melakukan tindakan seweneng-wenangan. Jual beli jabatan kian santer terdengar di lingkar kuasa. Ketum PPP Romahurmuzhy menjadi bukti konkret praktek tersebut.Â
Kekuasaan dan kesewangan kerapkali jadi bahan dagangan yang menjerumuskan diri. Pemusatan pemilihan kepada tangan menteri menjadi alasan untuk mengurangi jejak politis di perguruan tinggi.Â
Pemilihan rektor melalui senat kerapkali membuat polarisasi antara pihak yang meang dan kalah. Pihak yang menag cenderung mengalineasi pendapat kelompok pendukung rektor yang kalah.
Berbagai peraturan tentu memiliki konsekuensi yang harus dipertanggung jawabkan bersama. Pemilihan rektor melalui jalur pengangkatan menteri juga bernuansa politis. Bahkan memiliki ranah yang semakin luas dan jangkauan yang lebih besar.Â
Jika melalui proses sidang senat, calon rektor hanya berkutat dalam tingkat universitas, namun sekarang melebar sampai para anggota Dewan, pejabat di lingkaran Kemenag, Pentolan Ormas tertentu ikut andil dalam lobi-lobi pemilihan rektor.
Menyerahkan pemilihan rektor di tangan menteri sama halnya menjuruskan kampus dalam gelanggang politik nasional, mereka yang paling kuat lobi dan paling dekat denganya, memiliki porsi keterpilihan yang semakin besar pula.Â
Pengangkatan rektor oleh menteri malah membuat dilematis kampus ke dalam lingkar politik dan nepotisme yang lebih luas. Pemilihan anggota senat kampus hanya melibatkan lobi politik di tingkat universitas saja.Â