Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ulama dalam Lingkar Kuasa

19 Mei 2019   14:18 Diperbarui: 19 Mei 2019   14:22 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: m.suarasurabaya.net 

Indonesia sedang dilanda krisis multidimensi pasca pemilu serentak, begitu banyak kebencian dan fitnah yang bertebaran. Media sosial yang dulunya berfungsi sebagai sarana bersilaturahmi, kini berubah menjadi alat propaganda. 

Tokoh panutan saling terbelah, masyarakat awam jadi kesulitan membedakan antara salah dan benar. Hingga dampaknya terjadi krisis moral dan krisis kepercayaan. Inilah yang terjadi jika elit politik ikut-ikutan mengurus agama, demikian pula sebaliknya, pemuka agama terlalu ikut bersuara dalam ranah politik.

Idealnya seorang tokoh agama bersikap netral dalam menyikapi setiap isu politik. Tokoh hanya mendoakan siapapun yang terpilih ialah orang yang amanah dan mampu menjunjung tinggi aspirasi rakyat. Sikap pemuka agama yang tenang di tengah memanasnya arus politik, memberikan hawa kesejukan di tengah masyarakat. Sebab suara satu tokoh panutan akan mempengaruhi kestabilan persatuan dan kesatuan.

Sejarah mencatat bahwa para syaikh sufi pun berbeda-beda dalam menyikapi urusan politik. Pertama, ada syaikh yang aktif di dunia politik. Kedua, tidak aktif dalam berpolitik tapi dekat dengan kekuasaan. Ketiga, menjauh dari kekuasaan, bahkan melakukan perlawan jika terdapat penguasa zalim dan ingkar. Sikap itu muncul karena perbedaan perspektif dalam merespon konteks sosial, budaya, dan politik.

Salah satu sufi yang aktif berpolitik adalah Ali bin Abi Thalib, muara dari seluruh guru tarekat sufi. Meskipun pada akhirnya ia terbunuh sebagai seorang praktisi politik, bukan berarti Ali sangat berambisi dengan kekuasaan. Melainkan ia wafat demi mempertahankan kebenaran.

Lain halnya dengan Syaikh Abu alAbbas al-Mursy yang justru antikekuasaan. Muridnya, Syaikh Ibnu Atha'illah menjelaskan, hal tersebut ialah bentuk zuhud dari sang guru. Kekuasaan, kemewahan, dan harta benda yang  tergenggam di tangan penguasa dianggap menjadi penghalang untuk mendekatkan diri pada Allah.

Sebagai manusia, para ulama sufi pasti terlibat dalam urusan sosial di zamannya masing-masing, tak terkecuali politik. Namun kisah keteladanan politik yang pernah diperankan Rasulullah. dan para guru sufi semacam ini hendaknya menjadi rujukan bagi kita dalam menentukan sikap politik yang senantiasa menjaga nilai-nilai spiritualitas dalam mengatasi problematika kehidupan sosial.  

Tercatat dalam sejarah, suatu negeri mengalami kehancuran sebab para penguasanya durhaka kepada Allah dan orangorang yang terlena hidup bermewah-mewahan. Tatkala jabatan hanyalah sebagai sarana pemuas nafsu untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya, dan manusia mulai melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan, maka tunggulah terjadinya krisis dan ketimpangan di segala bidang. Tak terkecuali dalam bidang politik.

Ditambah lagi derasnya arus globalisasi telah menggiring manusia modern untuk hidup bermewah-mewahan dan hanya mengejar kebahagiaan materi serta lalai akan nilai-nilai immateri. Mereka menafikan peran Tuhan sebagai dzat yang maha memberi dan mengatur segala kebutuhan serta persoalan hidup manusia. Sikap ini tidak hanya mendorong kita pada kehidupan yang materialis dan hedonis. Melainkan juga mengakibatkan intuisi masif terhadap kontrol administratif rasional dalam sektor kehidupan. Pada kondisi ini, manusia telah sampai pada titik jenuh.

Manusia mulai merindukan nilai  ketuhanan yang menuntun manusia kembali kepada hakikatnya sebagai makhluk rohani, disamping sebagai makhluk jasmani. Ahli sufi mengakui adanya dualitas dalam diri manusia, yaitu materi dan immateri. Namun mereka lebih tertarik untuk membicarakan hal yang berhubungan dengan immateri. Dari segi hubungan dualisme itu, unsur materi memiliki hubungan yang jauh dari Allah, sedangkan unsur immateri memiliki posisi yang sangat dominan dan menentukan dalam pribadi manusia. Kebahagiaan rohani mengungguli kebahagiaan jasmani , kenikmatan yang dirasakan pun mendominasi kenikmatan yang dirasakan jasmani.

Problem spiritualitas ini bagi manusia modern menjadi hal yang tidak mudah dipecahkan sebab mereka telah kehilangan keyakinan akan hal-hal metafisis dan prinsip eskatologis. Kefanatikan manusia modern terhadap eksistensialisme dan positivisme membuat mereka menafikan berbagai informasi baik yang bersumber dari kitab suci maupun tradisi mistik yang mengatakan bahwa manusia itu memiliki unsur spiritual. Oleh karenanya, kini manusia modern mengalami krisis spiritual.

Oleh sebab itu, ketika manusia modern mulai mengerti bahwa arus globalisasi tidak memberikan kebahagiaan yang berarti, kini mereka menyadari untuk kembali pada dimensi spiritual. Sejalan dengan kebangkitan tasawuf di dunia Islam adalah tersebarnya ajaran sufi di Barat. Tasawuf spiritualis bathiniyyah diperkenalkan pada awal abad ke-19 oleh guru musisi Islam India, Inayat Khan, yang ajarannya kemudian diteruskan oleh putranya Pir Vilayat Inayat Khan, guru bagi kelompok "New Age" semacam Fritjof Copra.

Di dunia Barat, akhir-akhir ini telah bangkit kesadaran dan perhatian yang besar terhadap aspek spiritual dan tasawuf, terutama di kalangan pendidik. Kebangkitan ini justru menimbulkan banyak pertanyaan, khususnya di kalangan pengkaji sosiologi, agama, dan modernisasi. "Mengapa di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang marak, justru semakin banyak orang tertarik pada tasawuf?"

Kesimpulan singkat yang disampaikan oleh Nais Bitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000 bahwa, "Pesatnya perkembangan iptek tidak memberikan makna tentang kehidupan". Beberapa tokoh sufi kontemporer di antaranya, seorang Syaikh Thariqah Syadzaliyah 'Awaliyyah Afrika Utara, yang dikenal dengan julukan Syaikh Muhammad Isa Nurdin. Melalui bukunya berjudul The Transcendent Unity of Religion, ia memaparkan teori bahwa dalam ego manusia terdapat entitas: badan, otak dan hati. Ia mengakui, adanya suatu realitas yang absolut, transenden, dan tidak dapat dicapai melalui panca indera yang berada di luar ruang dan waktu.  Selain itu masih Syaikh Fadhalla Haeri, M.H. kabbani atau Faisal Abdul Rauf, yang tetap berjuang untuk menjadi obor sufi di tengah kegelapan kehidupan modern dewasa ini.

Di Indonesia sendiri, masyarakat bertasawuf dengan cara mengikuti thariqah dan majelis-majelis zikir yang biasanya dipimpin oleh ulama dan dengan thariqah yang berbeda antara guru yang satu dengan yang lain. Namun tujuannya tetaplah sama: mendekatkan diri pada Allah.

Melihat fenomena di atas dapat memberikan optimisme bahwa tasawuf di masa mendatang bakal menjadi primadona yang mempesona dan menjadi daya tarik bagi banyak orang. Serta tidak akan pernah usang dipelajari sepanjang zaman. Ada banyak wilayah yang dapat dikerjakan untuk memberikan kontribusi bagi kemaslahatan umat. Dan inilah yang menjadi cita-cita luhur para kaum sufi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun