Problem spiritualitas ini bagi manusia modern menjadi hal yang tidak mudah dipecahkan sebab mereka telah kehilangan keyakinan akan hal-hal metafisis dan prinsip eskatologis. Kefanatikan manusia modern terhadap eksistensialisme dan positivisme membuat mereka menafikan berbagai informasi baik yang bersumber dari kitab suci maupun tradisi mistik yang mengatakan bahwa manusia itu memiliki unsur spiritual. Oleh karenanya, kini manusia modern mengalami krisis spiritual.
Oleh sebab itu, ketika manusia modern mulai mengerti bahwa arus globalisasi tidak memberikan kebahagiaan yang berarti, kini mereka menyadari untuk kembali pada dimensi spiritual. Sejalan dengan kebangkitan tasawuf di dunia Islam adalah tersebarnya ajaran sufi di Barat. Tasawuf spiritualis bathiniyyah diperkenalkan pada awal abad ke-19 oleh guru musisi Islam India, Inayat Khan, yang ajarannya kemudian diteruskan oleh putranya Pir Vilayat Inayat Khan, guru bagi kelompok "New Age" semacam Fritjof Copra.
Di dunia Barat, akhir-akhir ini telah bangkit kesadaran dan perhatian yang besar terhadap aspek spiritual dan tasawuf, terutama di kalangan pendidik. Kebangkitan ini justru menimbulkan banyak pertanyaan, khususnya di kalangan pengkaji sosiologi, agama, dan modernisasi. "Mengapa di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang marak, justru semakin banyak orang tertarik pada tasawuf?"
Kesimpulan singkat yang disampaikan oleh Nais Bitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000 bahwa, "Pesatnya perkembangan iptek tidak memberikan makna tentang kehidupan". Beberapa tokoh sufi kontemporer di antaranya, seorang Syaikh Thariqah Syadzaliyah 'Awaliyyah Afrika Utara, yang dikenal dengan julukan Syaikh Muhammad Isa Nurdin. Melalui bukunya berjudul The Transcendent Unity of Religion, ia memaparkan teori bahwa dalam ego manusia terdapat entitas: badan, otak dan hati. Ia mengakui, adanya suatu realitas yang absolut, transenden, dan tidak dapat dicapai melalui panca indera yang berada di luar ruang dan waktu. Â Selain itu masih Syaikh Fadhalla Haeri, M.H. kabbani atau Faisal Abdul Rauf, yang tetap berjuang untuk menjadi obor sufi di tengah kegelapan kehidupan modern dewasa ini.
Di Indonesia sendiri, masyarakat bertasawuf dengan cara mengikuti thariqah dan majelis-majelis zikir yang biasanya dipimpin oleh ulama dan dengan thariqah yang berbeda antara guru yang satu dengan yang lain. Namun tujuannya tetaplah sama: mendekatkan diri pada Allah.
Melihat fenomena di atas dapat memberikan optimisme bahwa tasawuf di masa mendatang bakal menjadi primadona yang mempesona dan menjadi daya tarik bagi banyak orang. Serta tidak akan pernah usang dipelajari sepanjang zaman. Ada banyak wilayah yang dapat dikerjakan untuk memberikan kontribusi bagi kemaslahatan umat. Dan inilah yang menjadi cita-cita luhur para kaum sufi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H