Tanpa nilai kemanusiaan yang dijaga bersama dan mempersatukan, politik hanya akan menjadi peperangan yang dipenuhi dengan saling menjegal dan memfitnah orang lain. Namun ironisnya hal tersebut terjadi disekitar kita sekrang ini, intrik politik hanya menjadi racun yang mencabik persatuan diri. Indonesia kiranya lagi dalam fase tersebut.Â
Kampanye Pemilu 2019 tidak ubahnya menjadi sarang hoax dan hate speech yang diarahkan para pendukung pilihan mereka. Telepon genggam menjadi lahan perang  dan begitu sesak dengan postingan yang memuji bak Tuhan dan cercaan bak setan. Kami di kubu yang serba benar dan kubu lain serba salah.
Dunia maya begitu menyatu dalam setiap hela nafas yang kita hirup dan menjadi semacam denyut dalam bermasyarakat. Peringkat Indoensia berdasarkan Digital in 2018 yang dirilis We Are Social menempati posisi ketiga dalam jumlah mengakses media sosial, kira-kira masyarakat Indonesia menghabiskan 3,5 jam untuk berselancar di dunia maya.Â
Aktivitas tersebut dilakukan dalam rentang satu hari saja. Durasi untuk berhaha-hiri 8 persen dalam interval 24 jam, begitu banyak waktu yang terbuang untuk hal yang repetisi.
Kita tentu mengetahui bahwa konten yang dihadirkan oleh media sosial begitu beragam, mulai dari video tutorial make up sampai berseri-seri pengajian pun kita bisa temukan.Â
Konten yang mengandung tawa atau luka pun berseleliweran dalam lini masa setiap update story. Bermunculan akun-aku yang riuh berdebat tentang politik dan pemilu 2019.Â
Selera pasar mengaharpkan update dari kabar junjungan mereka. Hal tersebut juga menandakan bahwa partisipasi masyarkat dalam berpolitik juga memngalami trend naik, dari yang murni berkontribusi atau hanya mencari pundi-pundi. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu media untuk mengubah nasib diri kita sebagai penduduk Indonesia, ini tentu yang diharapkan bersama.
Akan tetapi, kita juga harus menyadari bahwa media sosial dan atribut dunia maya lainnya telah mengubah cara kita berpikir dan merasakan perkara berbau politik. Dunia maya telah mengganti wajah NKRI menjadi wajah yang partisan.Â
Pilkada DKI menjadi contoh bagaimana masyarakat Indonesia terjebur ke dalam kolam alieniasasi dimana ia hanya akan dihujani postingan yang objektif solutif. Kiranya lini masa di dunia maya kita sendiri begitu sesak dengan postingan emosional yang merepresentasikan liyan sebagai lawan yang harus dilibas.Â
Jikalau sudah dalam taraf kebencian akut, pemilu hanya sekadar dipahami sebagai jihad hiduo atau mati. Nalar kritis dengan sukarela dimatikan dan digadaikan dengan berbagai deklarasi.Â
Titik temu bersama menjadi kian bias dan pudar entah kemana. Titik tersebut begitu krusial untuk menyulut api emosional dalam diri penikmat media maya. Tingkat ektremis dalam dunia maya Indonesia kian melejit dalam masyarakat kelas menengah.
Kehidupan maya tentu memiliki pengaruh kehidupan usernya dalam berkehidupan sosial. Pertalian keluarga dan komunitas seringkali menjadi tumbal, petinggi politik hanya bertugas mengipasi isu-isu tersebut.Â
Media massa tentu berkaitan dengan sifat sejarah pelakunya. Berita di dunia maya merubah cara manusia melihat perkara dan masalah politik. Informasi poiltik di tahun politik akan selalu muncul bias yang terkesan tidak netral. Menjadikan  netralitas dunia maya adalah prinsip yang yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.Â
Membaca setiap informasi dituntut memakai  nalar secara langsung. Media massa apapun mendorong warganya untuk berdiskusi secara rasional dan subsantif tentang berita politik. Selain itu, audio visual semisal televisi juga memiliki peran dalam proses demokrasi.Â
Politik televisi kini hanya menyajikan hiburan politik, mendiskusikan pribadi politikus bukan kebijakan yang mereka ambil. Pergeseran orientasi dari yang sebelumnya berdimensi intelektual condong ke dimensi emosional.Â
Kita tidak akan berbicara muluk-muluk tentang politik di televisi, karena memang tidak cocok. Lantas apa langkah kita? Tentu mengimbangi membaca serius tentang sesuatu informasi dan mengasah daya nalar secara kontinyu.
Dimensi emosional dalam proses dukung-mendukung kian masif dan merebak di berbagai segmen masyarakat. Emosi massa pendukung atau pembenci kian menjadi dominan dalam membuat preferensi.Â
Pilihan politik tak ubahnya hanya berkutat suka atau tudak suka, bukan terbentuk dari proses pembacaan kritis. Demokrasi akhirnya hanya wujud lain dari tirani preferensi mayor. Polarisasi di tengah masyarakat akan kian menganga, urusan piliih memilih hanya menjadi bagian kecil di rentang hidup kita.
Lepas tangan dari semrawuutnya politik bukan jalan terbaik. Berpolitik dengan dunia maya menjadi sebuah keniscayaan. Hal yang perlu kita pikirkan sekarang bersama adalah tentang bagaimana kita mengenali secara radikal akibatnya terhadap pemebentukan emosi, buah pikiran dan tindakan politik kita masing-masing.Â
Lantas kita menjadikan dunia maya sebagai sarana berpolitik bukan malah menguasai tujuan kita berpolitik. Menjadikan media maya sebagai sarana bertukar ide gagasan menjadi jalan yang perlu menjadi perhatian bersama. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H