Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akar Politisasi Politik Muslim

8 Maret 2019   08:14 Diperbarui: 8 Maret 2019   10:25 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik membunuhmu ~ Instagram Sadbuthighklub.

Pengkotakan politik merupakan konsekuensi yang harus ditanggung dalam setiap perhelatan politik di sebuah negara. ~Abdul Muti 

Tidak hanya di Indonesia, pengkotakan politik juga terjadi di negara-negara barat yang sering kita bilang maju dan sudah lama menerapkan sistem demokrasi, semisal Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Australia. 

Akar dan tingkat pengkotakan politik tentu akan berbeda, pengkotakan politik dalam pemilu legislatif lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan eksekutif semisal gubernur, walikota dan kepala desa. Rendahnya pengkotakan politik pemilu legislatif dipengaruhi oleh deideologi parpol dan konvergensi sosial, politik dan keagamaan. 

Agama menjadi faktor yang berpengaruh dalam pengkotakan politik. Dengan tingkat keberagaman dalam segi suku dan agama yang begitu banyak, menjadikan negara Indonesia menjadi masyarakat yang menjunjung prinsip keagamaan. 

Akibatnya sebagian masyarakat yang hanya melihat dari satu kacamata saja, akan dengan terprovokasi dan sensitif dengan liyan yang memiliki perspektif berbeda. Kalau kita amati secara seksama, gejala ini terjadi di segala segmen masyarakat, pengkotakan politik di tengah masyarakat muslim kian kentara dan menganga. 

Hal ini tentu terjadi karena kuantitas Muslim di Indonesia, tingkat kemajemukan internal Muslim yang besar dan penghayatan berdemokrasi yang minim. Hal ini juga menganfirmasi bahwa pengkotakan keagamaan tidak hanya dalam relasi Muslim non-Muslim, akan tetapi juga diantara sesama Muslim. 

Pengkotakan politik Muslim dalam pemilihan kali ini menguat dan kian mengakhawatirkan dibandingkan dengan perhelatan tiga pemilihan sebelumnya. Muslim di Indonesia terkotakkan dalam ruang keislaman yang sebenarnya mereka buat sendiri dan tidak relevan. 

Berbagai isu semisal modernis-tradisionalis didaur ulang dengan slogan berbeda semisal pribumi-asing yang secara sejarah tidak memiliki pijakan yang kokoh. 

Hal yang berperan besar dalam pengkotakan politik adalah politisasi agama, dimana entitas agama secara sengaja digunakan sebagai alat politik untuk mendulang suara. Dalil dan dalih agama diseret kian jauh untuk memenangi kontestasi. Polititasi kian mekar dan subur karena ada yang selalu mengipasi pengkotakan tersebut. 

Dalam ajaran agama dan sebagai agama yang integratif, Islam memiliki instrumen yang terbilang mumpuni dan kolaboratif untuk memberikan arahan yang konkrit dalam segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, mempertahankan sinergi antara agama, kemasyarakatan dan pemerintahan menjadi faktor yang tidak boleh ditawar. 

Formalisasi nilai syariah dan perundangan ikut kontributif membentuk pribadi yang transformatif menghadapi perubahan. Perkembangan kelompok partisan politik konservatif juga berperan memberikan warna dalam perkembangan politik Muslim saat ini yang kerapkali memberikan wacana alternatif yang mengkapitalisasi ortodoksi Islam. 

Pasca bergulirnya reformasi, Muslim Indonesia ikut aktif terlibat dalam diskursus wacana antara progresif dan reaksioner. Pergulatan wacana ini bisa kita temukan dalam kegiatan formal maupun informal. Kelompok konservatif semakin percaya diri untuk mengaktualisasi gagasan yang mereka usung sebelumnya. 

Aksi 411 dan 212 menjadi bukti konkret bahwa hal tersebut bukan hanya konsolidasi kelompok biasa, namun jauh daripada itu. Ia bertranformasi menjadi gerakan alternatif arus utama yang kian menghegemoni. 

Konservatisme mendapatkan tempat yang nyaman untuk mengembangkan gagasan yang sering disampaikan. Media sosial dan tagging di postingan yang provokatif juga menjadi ladang yang berpengaruh untuk membuat pengkotakan politik dan membahayakan persatuan diri. 

Pengkotakan politik tentu tidak selalu berakibat buruk, pengkotakan politik juga terbukti menjadi pemacu keterlibatan masyarakat dalam perdebatan hajat bersama dan isu krusial yang berdampak ke publik. Namun, satu hal yang perlu kita wanti-wanti bahwa perselisihan politik yang terus menerus hanya akan menurunkan tensi kinerja pemerintah dan melupakan cita-cita luhur dalam bernegara. 

Pengkotakan politik yang overdosis hanya akan menambah segresi di tengah masyarakat. Terlalu mahal jika gegara pilihan politik, masyarakat terpecah belah, sudah waktunya pengkotakan dan ekstremisme politik dihindari untuk kemajuan dan kebangkitan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun