Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menuju Seabad Nahdlatul Ulama

31 Januari 2019   10:52 Diperbarui: 31 Januari 2019   10:55 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nahdlatul Ulama. (Dokpri)

Berdirinya Nahdlatul Ulama dari zaman ke zaman tidak pernah absen dalam berpartisipasi politik. Pandangan dan haluan politik yang lebih memfokuskan kepada mengawasi dan mengontrol untuk mewujudkan kesejahteraan umat dan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia secara menyeluruh. 

Dalam perjalanan sejarah organiasasi Nahdlatul Ulama sejauh ini, tidaklah dianggap remeh dan sederhana, begitu banyak halangan lika liku perjuangan yang luput dari perhatian masyarakat awam. 

Dari sejak lahirnya, NU sudah memperkenalkan tujuan awal berdirinya dalam membangun bangsa dan negara yang tidak ekstrem dan berhaluan moderat, sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyakakat saat ini. 

Hadirnya peran Nahdlatul Ulama bisa kita lihat dari sebelum kemerdekaan, orde lama, orde lama sampai masa reformasi. Ketika Belanda masih menjajah bumi Pertiwi, peran Nahdlatul Ulama begitu pasif dan hanya menunggu bola. 

Kehadiran Nahdlatul Ulama hanya menfokuskan dalam ranah agama tidak begitu membuat gebrakan dalam menentang status Quo dan tidak terlibat dalam perpolitikan nasional saat itu. 

Hal ini tidak mengiyakan bahwa Nahdlatul Ulama tidak memiliki peran apa-apa, Nahdlatul Ulama begitu getol menentang dominasi Belanda ketika mereka ikut campur tangan dalam ranah agama, buktinya ketika Belanda membuat sebuah kebijakan yang menarik wewenang pengadilan agama tentang warisan yang lalu dialihkan memberikan otoritas kepada hukum adat atas perkara tersebut. 

Dalam masa pendudukan Jepang, sikap Nahdlatul Ulama yang awalnya begitu menerima kehadiran mereka juga berbenturan dengan mereka ketika masyarakat diwajibkan melakukan seikeirei yaitu ritual berupa membungkukkan badan ke arah kaisar Tenno Haika. Ritual ini begitu ditentang oleh warga Muslim karena berlawanan dengan ajaran tauhid. 

Akibat penolakan ini, pimpinan Nahdlatul Ulama, K.H Hasyim Asyari ditahan oleh pihak Jepang dan kemudian dibebaskan pada tanggal 18 Agustus 1942 karena khawatir kerusuhan dan gelombang penolakan ini membesar. 

Setelah Jepang dikalahkan oleh sekutu dan untuk menghadang represi Belanda, Pimpinan Nahdlatul Ulama se-Jawa Madura dengan arahan K.H Hasyim Asyari mengeluarkan sebuah resolusi yang berisi untuk meminta kepada pemerintah Republik Indonesia supaya bertindak tegas terhadap Belanda sekaligus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda dan Nica pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Setelah kedatangan pasukan Inggris di Surabaya, tepatnya pada tanggal 10 November 1945 sebuah perang terjadi selama 15 hari tersebut terdapat peran Nahdlatul Ulama yang terlibat aktif melawan. Posisi simpatisan Nahdlatul Ulama tidak hanya sebatas penggerak di balik layar, namun terjun dalam perang langsung. 

Peran Nahdlatul Ulama juga hadir dalam masa Negara Indonesia baru terbentuk di masa Kemerdekaan. Organisasi Nahdlatul Ulama pernah bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Mayumi dan memisahkan diri dengannya pada tanggal pada 15 April 1952 dengan mendirikan partai politik sendiri. 

Berbagai tokoh nasional yang sempat menduduki posisi sentral semisal Wakhid Hasyim, Idham Chalid, Saifuddin Zuhri, Ahmad Syaichu dan beberapa tokoh lainnya. 

Dalam masa Orde Baru, ketika agama dijadikan sebagai alat mengumpulkan dukungan politik praktis, Nahdlatul Ulama berusaha Independen dan menjaga jarak dengan politik. Hal dan Sikap memisahkan diri ini berdasarkan keputusan Muktamar ke-27 di Situbondo dimana Nahdlatul Ulama beritikad untuk kembali ke khittah 1926. 

Menginjak usia satu Abad, organisasi Nahdlatul Ulama begitu teramat dibutuhkan dan krusial. Partispasi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keislaman dalam melawan radikalisme, ektremisme dan ketimpangan sosial di Indonesia merupakan sumbangsih yang begitu nyata, bagaiman K.H Hasyim Asyari mengomado perlawanan Seikerei dan mengueluarkan komando resolusi jihad. 

Pondok pesantren bisa berubah menjadi markas laskar Nahdlatul Ulama yang digerakkan oleh para Kyai kampung untuk melawan represi kolonialisme Belanda di Indonesia. 

Sebagai simpatisan dan bagian dari anak cucu Nahdlatul Ulama, kita tidak boleh leha-leha dan diam dalam kondisi kesenjangan sosial dan polarisasi politik saat ini. 

Berbagai upaya konkret telah dilakukan untuk membela hak individu dan masyarakat dalam melakukan ekspresi beragama, tugas kita adalah merawat dan menjaga kerukunan dan persatuan, Pengorbanan yang dilakukan oleh tokoh pendahulu Nahdlatul Ulama tidak sedikit, nyawa dan harta sekalipun akan rela dikorbankan untuk menjaga NKRI. Karena bagi kami warga NU, NKRI harga mati dari berbagai rongrongan yang destruktif. 

Selamat Harlah Nahdlatul Ulamaku yang ke-93 tahun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun