Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama Prasmanan

5 Januari 2019   14:47 Diperbarui: 5 Januari 2019   16:16 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Instagram SadButNightKlub.

Ajaran agama itu mudah, namun jangan ada iktikad mempermudah. 

Ibarat dalam resepsi pernikahan mengambil hal-hal yang enak tanpa memperdulikan koridor syara yang disepakati. Patut kita tahu bersama bahwa mudahnya agama tidak berarti menghilangkan keterikatan hukum yang telah ada, ia mengikat untuk menciptakan tatanan yang harmonis dan ideal. Mudahnya agama harusnya tidak memiliki unsur merendahkan nilai-nilai dasar keagamaan. 

Dalam diri setiap orang beragama menyimpan titik kecil dalam dirinya perasaan bahwa agamanya paling baik dan benar. Apakah yang demikian lantas dibilang salah? Sejujurnya bagiku itu tidak. 

Pengakuan bahwa agama yang kita anut adalah yang paling baik dan benar adalah manifestasi dari rasa kebanggaan diri dan kecintaan kita atas apa yang kita yakini dan anut. Hal yang sering permasalahan adalah menjadi salah adalah ketika pengakuan itu kita gunakan untuk menjustifikasi agama dan cara beragama orang lain. Pandangan yang memberikan jarak dan mengkotak-kotakkan manusia dalam sekat agama yang berbeda. 

Ketika kita melihat realitas keagamaan kita kini, tentu akan menemukan kelompok yang bersikeras bahwa agama adalah ego. Beragama, baginya adalah menjadikan manusia merasa paling superior atas yang lain. Agama adalah tempurung yang memenjarakan akal dari nilai-nilai perdamaian dan kesetaraan dalam kemanusiaan. Pemahaman agama yang rigid telah merenggut jutaan nyawa manusia atas nama pembelaan terhadap Agama dan Tuhannya. 

Pemahaman agama menggaransi perilaku dan tindakan radikal dengan balasan surga yang konon bonus pesta seks di dalamnya. Pemahaman agama yang membenarkan kekerasan, dimana menyebut teroris sebagai martir dan lebih dari itu, melukai harga diri kemanusiaan. Demikianlah jika pemahaman yang overdosis melegalkan perilaku yang destruktif, begitulah gambaran sesuatu yang profan berubah menjadi entitas yang jahat dan naif. 

Namun ketika melihat sisi yang lain, sebagian kelompok mengatakan bahwa agama mereka adalah kemanusiaan. Mereka tidak memercayai sebuah institusi agama apapun karena mereka hanya membuat kita yang bersaudara ini terkotak-kotak dan terus berkonflik. Kekecewaan terhadap entitas agama membuat banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap agama itu sendiri. 

Terlebih dalam dunia yang sudah masuk dalam fase revolusi industri generasi keempat dimana segala sesuatu yang berhubungan serba digital ini, rasa kebencian begitu mudahnya disebar dan dibagikan. Hanya bermodal telepon genggam, kuota internet, dan jari yang mau bekerja, api permusuhan bisa dengan mudah menyala dengan hebat, kabar berita bohong menjadi asupan otak setiap waktunya. Jika sedikit membuka akal dan nurani kita, bukan agama yang menjadi motor penggerak propaganda persmusuhan dan perpecahan di tubuh sebuah negara, Agama terlalu suci untuk menodai sebuah ikatan kemanusiaan. 

Namun permasalahannya, sebagian dari kita menutup diri atau sengaja menutup diri bahwa konflik politik, ketidaksejahteraan sosial, dan kepentingan hidup manusia seringkali memakai dan meminjam agama untuk menjadi sumbun pemantikya. Memang agama itu sumbu paling ampuh untuk mengobarkan api kebencian, dan sebagai sumbu, ia tidak bisa menyala tanpa ada percik api yang membakarnya. 

Agama selayaknya menjadi jalan hidup seorang hamba. Apa jadinya jalan tersebut, baik atau tidaknya, terjal atau mulusnya, adalah umat beragama yang melakukan dan mendefinisikannya sendiri. Stigma negatif Islam adalah agama teroris, suka memfitnah dan menuding kafir, mudah tersulut berita bohong banyak menimbulkan pertanyaan singkat Apa yang salah dengan keberislam kita?. Tentu bagi Muslim sejati hal ini sangat menyakitkan. 

Bagaimana mungkin kecintaan terhadap Islam justru menjadi senjata makan tuan bagi Islam itu sendiri? Dalam diri agama yang profan sudah sepatutnya terdapat refleksi dari keindahan moral kita secara personal. Jika memang ego keagamaan adalah salah satu jalan untuk merefleksikan kecintaan kita terhadap agama, tetaplah merasa pemahaman agama diri kita masing-masing yang paling benar. 

Hal tersebut juga harus kita tidak perlu menuding yang lain salah. Merasa menang tanpa perlu membuat orang lain kalah adalah sebuah prinsip yang ideal. Sederhana saja bahwa seluruh agama mengajarkan tentang kebaikan sosial bagi penganutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun