Pernah merasa risih ketika melewati kerumunan orang yang bersiul dan meneriaki cantik pada dirimu. Contoh yang paling parah, bisa kita temukan kanal youtuber gaming Kimi Hime, tentu kita akan begitu banyak menemukan komentar seksis yang menjuruskan kepada orang lain, menelanjangi dengan kalimat yang begitu vulgar. Itulah adalah salah satu bentuk sederhana dari objektifikasi diri.Â
Setiap orang rentan menjadi korban pelecehan seksual, mungkin berupa siualan, tatapan mendalam dan perkataan seksis. Lelaki dan perempuan bisa menjadi korban dan malah pelaku, namun perempuanlah yang lebih sering menjadi korban pelecehan seksual. Budaya patriarki di Indonesia menjadi hal yang mentolerir perilaku tersebut.Â
Penampilan dan tubuh perempuan kerap kali menjadi bahan candaan dalam dunia akademis dan ranah publik. Guru dan masyarakat yang melakukan hal tersebut tidak menyadari bahwa perilaku yang dianggap biasa saja tersebut bisa saja menjadi salah bentuk objektifikasi diri yang berakibat buruk bagi kesehatan mental korban jika tidak ada proses pencegahan diri. Perilaku objektifikasi diri terjadi ketika bagian tubuh dari korban diperlakukan selayaknya objek yang dapat dieksplotasi melalui pandangan dan rabaan.Â
Perempuan dan lelaki bisa saja jadi korban, sebut saja ketika pebulutangkis tangkis Jonathan Cristie membuka baju sebagai bentuk perayaan kemenangan, netizen dengan mudahnya melontarkan komentar rahim anget, contoh lain juga diterima oleh Lola Zieta ketika memerankan tokoh anime sebagai cosplayer.Â
Namun perempun memiliki rentan korban objektifikasi dan pelecehan seksual yang lebih besar. Masyarakat masih saja menilai perempuan dari segi penampilan diri, dan menomorduakan hal lain yang mungkin lebih dimiliki seseorang seperti kecerdasan dan kepribadian diri. Hal ini tentu berbeda dengan penilaian terhadap lelaki yang cenderung lebih cenderung memisahkan hal tersebut.Â
Sikap mengobjektifikasi perempuan adalah buah dari kemerosatan terhadap harkat martabat payudara dan paha, dimana ia menjadi bagian tubuh perempuan, bukan semata menjadi bahan objektifikasi mata dan media. Perilaku yang bisa dikategorikan sebagai objektifikasi orang, diantaranya: menatap mendalam bagian tubuh tertentu, bersiul ketika ada orang melewati kerumunan, meraba bagian tubuh orang lain, memberikan komentar yang berkaitan dengan hal melekat pada dirinya, sampai ke dalam perilaku yang berbau kekerasan fisik seperti memperkosanya. Perilaku menyoraki dan bersiul masih dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat yang belum tersecahkan.Â
Hal ini tentu menjadi alarm kita bersama dan menjadi tanda bahwa objektifikasi tubuh sudah masuk dalam diri masyarakat karena perilaku tersebut seriang terjadi dan malah dibiarkan begitu saja. Masyarakat terlalu abai dengan akibat dari perilaku objektifikasi dalam jangka panjang, korban objektifikasi akan selalu mengobjektifikasi dirinya sendiri.Â
Hal ini kerap kali terjadi pada perempuan yang terus menerus merisaukan penampilannya sendiri dan berusaha berpenampilan sesempurna mungkin. Jikalau perilaku ini dibiarkan, tentu akan mengganggu kepercayaan diri orang tersebut. Terlebih lagi ketika pribadi tersebut tidak mampu memenuhi ekspetasi sekitar atau komunitas yang ia ikuti tentang penampilan dirinya.Â
Hal yang terkadang sepele bagi kebanyakan orang, namun berbeda dengan orang yang memang rentan akan permasalahan mental. Karena hal yang terjadi di dalam kondisi kejiwaan setiap individu mempunyai daya banting dan kerentanan mental yang berbeda, tidak beda dengan kondisi kesehatan manusia yang berbeda pula.Â
Objektikasi tubuh perempuan kerapkali dilakukan dengan orang yang tidak kita kenal, bisa dalam komunikasi secara langsung ataupun dalam komunikasi dunia maya. Perilaku mengobjektifikasi secara berulang kali akan meningkatkan dua kali lipat penyintas untuk terpapar depresi. Perilaku tersebut juga akan memengaruhi tingkat kenyaman diri di ruang publik, muncul rasa ketidaknyamanan dalam diri penyintas, masih saja terancam walaupun sudah dalam wakttu siang hari, keenganan untuk menggunakan transportasi publik yang menurun bagi para penyintas.Â
Hal ini kalo kita kaitkan akan sejajar dengan penurunan partisipasi perempuan dalam bidang kemasyarakatan, menurunkan produktivitas pendidikan dan perekonomian dibanding dengan lelaki sehingga nantinya perempuan seakan-akan menciptakan sekat yang mengekang untuk berkontribusi secara nyata sebagaimana ia bisa sepenuhnya beraktivitas dalam ruang publik.Â