Indonesia boleh dikatakan merupakan pangsa pasar yang obat-obatan paling besar. Setidaknya Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk yang amat besar.
Mereka punya sifat amat gemar mengkonsumsi obat-obatan baik yang dijual secara resmi atau pun lewat pasar gelap yang tidak resmi. Berbagai iklan di media baik cetak atau elektronik dipenuhi dengan penawaran berbagai macam obat yang dijual bebas dan manfaat yang selangit.
Di sisi lain, industri farmasi adalah industri yang punya nilai persaingan yang cukup tinggi. Bahkan seringkali persaingan ini sampai ke wilayah persaingan yang tidak sehat, seperti adanya biaya promosi di media, sampai langsung menghubungi para dokter yang berpraktik agar dapat menjual obat sebanyak-banyaknya. Dan industri farmasi akan sangat bermurah hati untuk berinvestasi besar demi mengentertain para dokter, seperti membelikan mereka mobil, rumah dan sebagainya.
Persaingan ini pun kadang sampai ke trik yang agak lebih tidak terpuji, seperti upaya saling menjatuhkan citra suatu produk, demi untuk dapat menguasai pasar. Bukan sebuah hal yang aneh bila antara satu produsen dengan produsen lain saling menjatuhkan dengan cara-cara yang tidak sehat, seperti melepas isu-isu negatif dan miring terhadap produk dari saingannya.
Salah satunya adalah dengan cara menebar isu tentang adanya kandungan yang dianggap atau dikhawatirkan mengandung bahan-bahan yang tidak halal, seperti ekstrak babi atau benda-benda najis.
Trik menebar isu ini karena memasuki ranah halal-haram di tengah keawaman umat Islam, akhirnya seringkali menimbulkan keresahan massal. Apalagi mengingat bangsa Indonesia umumnya berlatar belakang mazhab Asy-Syafiiyah, yang sangat tegas mengharamkan babi dan anjing.
Sekadar catatan, kalau di dalam mazhab lain dikenal al-istihalah, dimana kulit hewan yang haram dimakan, entah bangkai atau memang hewan yang najis, bila telah disamak akan berubah menjadi suci, namun khusus di dalam mazhab Asy-Syafiiyah, kulit babi dan anjing selama-lamanya tidak akan pernah berubah menjadi suci, meski sudah mengalami penyamakan.
Dalam pandangan mazhab ini, anjing dan babi adalah hewan yang level kenajiannya berat (mughalladzah), sehingga apa pun dari bagian tubuhnya tidak bisa disucikan lagi. Maka isu babi adalah isu yang paling sering dimunculkan dalam rangka persaingan antara pedagang dan produsen makanan serta obat-obatan.
Istihalah, Perubahan Zat Sifat Benda
Kata istihalah  berarti berubahnya suatu benda dari zat dan sifat aslinya menjadi benda lain yang berbeda zat dan sifatnya. Dan perubahan zat dan sifat itu berpengaruh kepada perubahan hukumnya. Bila benda najis mengalami perubahan zat dan sifat menjadi benda lain yang sudah berubah zat dan sifatnya, maka benda itu sudah bukan benda najis lagi.
Para ulama memang berbeda pendapat tentang apakah benda najis yang sudah berubah menjadi benda lain itu akan hilang kenajisannya.Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa istihalah itu mengubah hukum najis pada satu benda menjadi tidak najis. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah Â
Namun mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah bersikeras bahwa najis 'ain seperti babi, meski sudah mengalami perubahan total, hukumnya tidak berubah menjadi suci. Di antara dalil-dalil istihalah yang digunakan oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah antara lain perubahan-perubahan hukum yang terjadi pada khamar ketika berubah menjadi cuka, atau perubahan air mani menjadi manusia, termasuk juga perubahan bangkai menjadi garam.
Obat atau Vaksin Mengandung Babi, Diharamkan atau Diperbolehkan?
Tentang bagaimana hukum disuntik dengan vaksin meningitis yang disinyalir hukumnya haram karena dianggap mengandung babi, para ulama berbeda pendapat. Sebagian pihak masih keberatan bahwa vaksin itu dianggap telah bebas unsur babi, meski faktanya memang demikian. Sebab bila prosesnya masih menggunakan babi, menurut mereka tetap saja diharamkan.
Di antaranya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meski tidak mengharamkan langusng tetapi tegas menyatakan bahwa terdapat syubhat. Pensyubhatan hukum MUI atas vaksin ini karena pemanfaatan hewan babi yang jelas-jelas keharamannya, sebagaimana terdapat dalam Al-Baqarah ayat 173.
Selain itu juga karena terjadi ikhtilat, yaitu pencampuran secara cair dan sangat memungkinkan akan ikut terangkat di proses akhir, karena hanya disaring.
Dalam proses produksi vaksin meningitis formula baru ternyata masih menggunakan bahan dari hewan yang diharamkan dan  pendeteksian di akhir menggunakan alat PCR yang tidak bisa mendeteksi protein.
Namun sebagian yang lain dari para ulama tidak mempermasalahkannya. Sebab faktanya vaksin itu memang tidak mengandung babi. Kalau pun dalam prosesnya mengadung babi, maka dalam pandangan para ulama itu, proses itu tidak bisa dijadikan sebagai dasar atas pengharaman atau kenajisan suatu benda.
Sebab dalam istihalah dan contoh-contohnya jelas sekali bahwa benda yang asalnya najis bisa berubah menjadi suci. Seperti bila seekor ayam memakan benda najis, tidak berarti ayam itu ikut menjadi najis. Atau ketika ikan lele memakan kotoran, tidak lantas membuat daging lele itu menjadi najis juga. Sebab telah terjadi proses istihalah sebagaimana telah disebutkan di atas.
Yang menarik dalam prakteknya, pemerintah Saudi Arabia yang mengeluarkan peraturan bahwa seluruh jamaah haji atau umrah yang mendarat di tanah suci harus divaksin meningitis, justru menggunakan produk yang sama dengan yang dipakai di Indonesia.
Bedanya, kalau di Indonesia produk itu bikin heboh, sementara di Saudi sendiri tidak ada yang meributkannya. Bahkan keributan seperti di Indonesia ini tidak kita temui juga di negara-negara lain yang punya banyak jamaah haji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H