Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menulis Cinta dengan Akal

20 Agustus 2018   15:49 Diperbarui: 20 Agustus 2018   15:55 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta adalah segerak sikap memaafkan yang tiada berakhir,sesorot pandangan penuh rasa sayang yang menjadi kebiasaan. (Peter Ustinov, Aktor-penulis Inggris)

Saya sengaja menempatkan curahan hati Peter Ustinov dalam memaknai cinta untuk memulai tulisan ini. Bagi saya, ada satu hal menarik dalam definisi itu yang perlu diberikan penekanan, yaitu tentang kebiasaan. Dengan definisi itu, nampaknya kita diberitahu bahwa sebuah perasaan cinta mestilah dijalani secara terus-menerus, kontinyu, tak pernah terbesit kebosanan, dan dibarengi rasa sayang yang amat.

Seorang penulis yang tangguh akan mencurahkan segala perasaan cintanya terhadap dunia tulis-menulis hingga nampak tak ada kebosanan dan patah arang dalam menjalaninya. Dari ketidakbosanan itulah yang akan mengantarkan seseorang menjadikan sebuah aktivitas menjadi kebiasaan, bahkan kebutuhan. Menulis, dengan demikian, tak ubahnya seperti makan; menjadi sebuah kebutuhan.

Cinta sendiri dapat disebabkan berbagai faktor yang berbeda. Di dalam kitab Mufradat li Al-fadzhil al-Qur'an, Ar-Raghib Al Ashfihani membedakan motif cinta (mahabbah) ke dalam tiga kategori (Muhammad Asyhari, Tafsir Cinta: 2006). Pertama, cinta untuk memperoleh nikmat (mahabbah lil al ladzdzah). Termasuk motif ini adalah kecintaan seorang lelaki kepada perempuan hingga dirinya mendapatkan kenikmatan, baik secara psikologis maupun biologis.

Kedua, cinta yang bermotif manfaat (mahabbah li an-naf'). Seseorang mencintai sesuatu karena akan memperoleh manfaat dari apa yang dicintainya, baik bersifat materiil maupun spirituil. Ketiga, cinta yang bermotif keutamaan (mahabbah li al-fadhl). Sebagai contoh dalam kategori ini adalah cinta para pakar terhadap ilmu pengetahuan.

Aktivitas menulis, sebenarnya dapat dicari sandarannya pada ketiga motif itu, bahkan termasuk motif cinta kepada Tuhan. Sebuah tulisan dapat dijadikan media berdakwah --selain yang populer adalah oral- sehingga seseorang akan merasa lebih dekat kepada Allah (taqarrub ila Allah) dan memperoleh kenikmatan secara psikologis.

Cara-cara seperti inilah yang dilakukan oleh para ulama terdahulu dengan berbagai karya mereka yang luar biasa. Sebut saja beberapa nama seperti Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, dan empat Imam fiqh yang paling populer; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Hambali, dan Imam Syafi'i.

Kecintaan para ulama tersebut terhadap Tuhan, ilmu pengetahuan dan tulisan membuat mereka dikenal sampai sekarang dan pendapat-pendapat mereka diikuti hingga saat ini. Maka tidak salah jika ada adagium, "bila ingin mencerdaskan satu atau dua generasi, maka jadilah guru yang baik. Tapi bila ingin mencerdaskan beberapa generasi maka jadilah penulis ilmu pengetahuan yang baik." (Di Balik Sukses Para Penulis Muslim, LSAP Semarang: 1997).

Diakui atau tidak, menulis tentulah lebih awet daripada sekadar tradisi lisan. Maka "menulis adalah kerja untuk keabadian," demikian kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Bahkan wahyu yang turun pertama kali kepada Nabi saw bertutur tentang urgensi kepenulisan. Bahwa manusia diajarkan untuk membaca dengan perantaraan pena (qalam) (QS. 93: 3-4).

Apabila al-Qur'an sendiri tidak dituliskan, maka tidak ada jaminan akan bisa "dinikmati" oleh umat Islam hingga kini. Karena itulah, mencintai dunia tulisan tidak hanya perasaan suka atau tidak suka, melainkan juga dapat bernilai ibadah.

Itu yang bersifat vertikal-transendental. Bagi kita sendiri, menulis akan mendekatkan kita pada realitas; baik internal diri kita maupun di luar diri kita. Jamak kita ketahui, sebuah tulisan dapat menjadi teman curhat (curahan hati) yang paling baik di saat hati atau perasaan kita sedang mengalami "goncangan".

Itulah yang dilakukan oleh Chairil Anwar saat kehilangan neneknya yang amat dekat dan sangat disayanginya. Chairil menumpahkan kesedihannya itu di atas guratan-guratan sajak yang ia tulis hingga membuat namanya menjadi perbincangan hangat di kalangan penyair kala itu (Sjuman Djaya, Aku: 2003).

Chairil menulis dengan hatinya:

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu di atas debu

dan duka maha tuan bertahta...

Melalui tulisan seseorang dapat menumpahkan kesedihan, kegembiraan, kesenangan atau apapun seperti halnya Chairil. Bahkan seseorang bisa menjadi produktif dalam menulis karena selalu menumpahkan segala isi kepalanya di atas kertas. Bagi kalangan remaja, buku Diary merupakan teman "curhat" yang paling sering diajak untuk menyelami perasaan mereka.

Dalam novel Jalan Sunyi Seorang Penulis, Muhidin M. Dahlan (2005), bercerita tentang seorang mahasiswa yang mencintai seorang mahasiswi. Tetapi karena ketidakberaniannya untuk mengungkapkan secara langsung, maka dia berinisiatif untuk menulis perasaannya itu lewat sepotong sajak cinta yang diterbitkan dalam sebuah buletin.

Meski pada akhirnya gagal dan cintanya bertepuk sebelah tangan, tetapi paling tidak, cerita itu memberikan inisiatif kepada kita, bahwa menulis, apapun bentuknya, seperti mudahnya kita saat mengungkap apa yang kita rasa, termasuk saat kita sedang jatuh cinta, atau menulis surat cinta.

Cinta dan menulis, menjadi dua hal yang kontemplatif, dan saling mengisi. Joanne Kathleen Rowling, penulis Harry Potter yang fenomenal itu bahkan amat menekankan betapa pentingnya perasaan cinta saat menulis. Bahkan "aku akan menulis sekalipun belum tahu akan diterbitkan atau tidak," seru Jo, panggilan akrab J.K. Rowling.

Penulis berpenghasilan tertinggi di dunia itu pada awalnya tak pernah menyangka tokoh khayalannya Harry Potter akan mampu menyihir jutaan mata yang membaca bahkan diangkat ke layar kaca dan menduduki kursi Box Office. Di tengah kemiskinan yang mengubanginya sebelum buku tentang dunia sihir itu terbit, Jo tak pernah lelah dan bosan untuk terus menulis di manapun, dan dalam kondisi apapun.

Semangat penuh kecintaan itulah yang patut untuk selalu diikuti oleh siapapun yang merasa mencintai dunia tulis-menulis. Dan memang, kebosanan pasti akan melanda siapapun. Ia tidak peduli apakah penulis profesional, senior, atau penulis yang baru belajar dan pemula. Namun kecintaan seseorang akan sebuah dunia yang di dalamnya ia merasa nyaman, maka kebosanan itu akan mampu teratasi.

Berjuang

Dalam berbagai pelatihan tentang jurnalistik, akan ada kesimpulan bahwa menulis tidak hanya dalam angan, tetapi harus dipraktikkan. Sebuah perasaan cinta tidak cukup hanya dipendam dalam hati, melainkan harus diungkapkan, dinyatakan, dan "difaktakan".

Mencintai dunia tulisan, maka mau tidak mau harus praktik menulis. Wajib hukumnya. Dan melalui tulisan, kita akan mengutarakan segala sesuatu; perasaan, kejadian, fenomena, dan kritik sosial. Tokoh-tokoh seperti Karl Marx, Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, dan Tan Malaka menggunakan media tulisan untuk melakukan kritik sosial, bahkan revolusi.

Gagasan-gagasan tentang perubahan itu, disampaikannya melalui tulisan dengan bahasa-bahasa yang menggugah dan di sisi lain, heroik. Karena, sebuah karya sejatinya juga memiliki ruh sendiri lepas dari sang pengarang.

Contoh sederhananya, kita tentu tidak akan pernah membayangkan bagaimana sosok penulis yang menulis buku tentang revolusi misalnya, tetapi melalui karyanya, kita akan tahu betapa ia adalah seorang penggugah jiwa, penyejuk bagi orang lain. Kita tidak mendapatkan sentuhan langsung dari si pengarang, melainkan dari karya yang ditulisnya. Itulah mengapa sebuah karya tulis memiliki kekuatannya sendiri.  

Syahdan, Pramoedya Ananta Toer pernah dijebloskan ke penjara karena kecintaannya akan sebuah keadilan yang "dibungkam" oleh pemerintah. Pramoedya menuangkan cintanya itu melalui sebuah tulisan yang sangat "pedas", penuh kritik, dan tidak segan-segan "menghabisi" penguasa.

Tetapi sebagai akibat dari kecintaannya itu, Pramoedya kemudian menanggung akibat yang memedihkan. Beberapa buah tangan Pram dimusnahkan dan tubuhnya yang ringkih itu tetap dijamah oleh tangan-tangan jahil kekuasaan hinga ia harus menjadi penghuni pengasingan selama bertahun-tahun.

Dulu Soewardi Suryaningrat atau yang kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara mengalami hal serupa setelah menulis artikel pedas untuk pemerintah kolonial Belanda berjudul "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda). Karena tulisannya itu, Ki Hadjar Dewantara bersama dua sahabatnya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, dimasukkan ke dalam ruang gelap dan terbatas; apalagi kalau bukan penjara.  

Pembungkaman kekuasaan atas "suara pena" selalu terjadi dalam dentingan waktu sejarah bangsa Indonesia. Pers, yang sejatinya menjadi salah satu pilar demokrasi, acap menjadi "bulan-bulanan" pemerintah yang otoriter.

Goenawan Moehammad, penulis setia Catatan Pinggir di majalah Tempo itu, pernah merasakan betapa buah pena seseorang bisa menjadi bumerang bagi dirinya saat kecintaannya itu diwujudkan untuk mengritik penguasa. Tulisan-tulisan Goenawan dianggap bisa memicu amarah dan sikap kontra terhadap pemerintah sehingga perlu dibatasi, dibredel majalahnya, "disekolahkan" terlebih dahulu, dan "diamankan".

Dari sebuah tulisan seseorang mampu "menggetarkan" para penguasa otoriter. Ini tidak berbeda dengan puluhan serdadu yang melakukan perjuangan fisik melawan penjajah. Karena itulah pena memang sangat tajam. Sebuah Hadits Rasulullah saw pun menyatakan "tinta ulama itu lebih mulia daripada darah syuhada".

Sebuah tulisan akan menimbulkan "kedahsyatan" tersendiri bila dikemas dalam sebuah kritik dan seruan untuk mencintai kebenaran, keadilan, dan kesetaraan. Dan kecintaan pada dunia tulis-menulis itu akan menjadikan seseorang produktif dan menyuarakan apapun yang dianggap tidak idealis. Dan pada posisi itulah, seorang penulis tak berbeda sebagai seorang pejuang yang mengajarkan pelajaran-pelajaran berharga kepada kita; semua orang.

Sehingga, untuk menjadi penulis seseorang hanya perlu melakukan dua langkah; cintailah, lalu menulislah!***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun