Penulis berpenghasilan tertinggi di dunia itu pada awalnya tak pernah menyangka tokoh khayalannya Harry Potter akan mampu menyihir jutaan mata yang membaca bahkan diangkat ke layar kaca dan menduduki kursi Box Office. Di tengah kemiskinan yang mengubanginya sebelum buku tentang dunia sihir itu terbit, Jo tak pernah lelah dan bosan untuk terus menulis di manapun, dan dalam kondisi apapun.
Semangat penuh kecintaan itulah yang patut untuk selalu diikuti oleh siapapun yang merasa mencintai dunia tulis-menulis. Dan memang, kebosanan pasti akan melanda siapapun. Ia tidak peduli apakah penulis profesional, senior, atau penulis yang baru belajar dan pemula. Namun kecintaan seseorang akan sebuah dunia yang di dalamnya ia merasa nyaman, maka kebosanan itu akan mampu teratasi.
Berjuang
Dalam berbagai pelatihan tentang jurnalistik, akan ada kesimpulan bahwa menulis tidak hanya dalam angan, tetapi harus dipraktikkan. Sebuah perasaan cinta tidak cukup hanya dipendam dalam hati, melainkan harus diungkapkan, dinyatakan, dan "difaktakan".
Mencintai dunia tulisan, maka mau tidak mau harus praktik menulis. Wajib hukumnya. Dan melalui tulisan, kita akan mengutarakan segala sesuatu; perasaan, kejadian, fenomena, dan kritik sosial. Tokoh-tokoh seperti Karl Marx, Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, dan Tan Malaka menggunakan media tulisan untuk melakukan kritik sosial, bahkan revolusi.
Gagasan-gagasan tentang perubahan itu, disampaikannya melalui tulisan dengan bahasa-bahasa yang menggugah dan di sisi lain, heroik. Karena, sebuah karya sejatinya juga memiliki ruh sendiri lepas dari sang pengarang.
Contoh sederhananya, kita tentu tidak akan pernah membayangkan bagaimana sosok penulis yang menulis buku tentang revolusi misalnya, tetapi melalui karyanya, kita akan tahu betapa ia adalah seorang penggugah jiwa, penyejuk bagi orang lain. Kita tidak mendapatkan sentuhan langsung dari si pengarang, melainkan dari karya yang ditulisnya. Itulah mengapa sebuah karya tulis memiliki kekuatannya sendiri. Â
Syahdan, Pramoedya Ananta Toer pernah dijebloskan ke penjara karena kecintaannya akan sebuah keadilan yang "dibungkam" oleh pemerintah. Pramoedya menuangkan cintanya itu melalui sebuah tulisan yang sangat "pedas", penuh kritik, dan tidak segan-segan "menghabisi" penguasa.
Tetapi sebagai akibat dari kecintaannya itu, Pramoedya kemudian menanggung akibat yang memedihkan. Beberapa buah tangan Pram dimusnahkan dan tubuhnya yang ringkih itu tetap dijamah oleh tangan-tangan jahil kekuasaan hinga ia harus menjadi penghuni pengasingan selama bertahun-tahun.
Dulu Soewardi Suryaningrat atau yang kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara mengalami hal serupa setelah menulis artikel pedas untuk pemerintah kolonial Belanda berjudul "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda). Karena tulisannya itu, Ki Hadjar Dewantara bersama dua sahabatnya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, dimasukkan ke dalam ruang gelap dan terbatas; apalagi kalau bukan penjara. Â
Pembungkaman kekuasaan atas "suara pena" selalu terjadi dalam dentingan waktu sejarah bangsa Indonesia. Pers, yang sejatinya menjadi salah satu pilar demokrasi, acap menjadi "bulan-bulanan" pemerintah yang otoriter.