Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Refleksi Kemerdekaan, Menegakkan Kembali Indonesia

18 Agustus 2018   11:30 Diperbarui: 18 Agustus 2018   11:41 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian kecil kaum muslim Indonesia masih belum mensyukuri bahwa Indonesia adalah rumah ideal bagi seorang muslim. Sebagian muslim Indonesia masih belum puas dengan bentuk negara ini, sehingga masih menginginkan pembentukan ulang negara Islam Indonesia. Pandangan kelompok kecil muslim Indonesia ini tentu kurang tepat. Mengapa? 

Negara Islam sesungguhnya bukanlah negara yang memaksakan agama atau berperilaku agamis pada warganya, melainkan negara yang menjamin kenyamanan setiap warga untuk beragama. UUD 1945 telah menjamin itu. Maka tak ada yang salah dengan bentuk negara Indonesia. Bentuk negara semacam inilah yang pernah didirikan oleh Nabi Muhammad di Madinah.

Aksi-aksi ketidakpuasan dari sekelompok muslim Indonesia sesungguhnya dipicu oleh kehancuran sendi-sendi ekonomi, politik, sosial, budaya yang lebih disebabkan oleh kelemahan pengelolaan negara oleh para pemimpin negeri ini bukan kesalahan format negara Indonesia. Orang Indonesia di mana-mana diremehkan dan prestasi bangsa kian jeblok. Itulah makanya kebangkitan bangsa perlu diupayakan terus-menerus oleh setiap generasi baru Indonesia.

Seabad sudah kebangkitan negeri ini diupayakan. Boedi Oetomo yang berdiri 20 Mei 1908 menjadi titik tolak perjuangan Indonesia yang semula mengandalkan perlawanan fisik kedaerahan menjadi perlawanan nasional berbasis kekuatan intelektual. Boedi Oetomo yang diprakarsai oleh Soetomo, Wahidin, dan Soewardi telah menginspirasi munculnya kesadaran tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa untuk melawan penjajahan.

Perjuangan melalui organisasi kebangsaan merupakan cara baru untuk melawan penjajah. Para penggagas Boedi Oetomo meyakini bahwa gagalnya bangsa Indonesia mengusir penjajah pada masa sebelum 1908 disebabkan oleh kurangnya persatuan-kesatuan bangsa. Perlawanan sporadis hanya mengakibatkan nafas perjuangan kembang kempis. Langkah Boedi Oetomo menjadi inspirasi bagi munculnya organisasi perjuangan lainnya seperti Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917), Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918).

Memang keberhasilan atas cita perjuangan tidak dicapai semudah membalik tangan. Paling tidak butuh waktu 37 tahun bagi gerakan Boedi Oetomo untuk mewujudkan cita-cita dasar kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, kemerdekaan Indonesia akan sulit terwujud bila gagasan perubahan strategi perjuangan tidak muncul dari Boedi Oetomo.

Setelah seratus tahun Kebangkitan Nasional, sudah saatnya kita merenungkan ulang apakah cita-cita para penggagas Boedi Oetomo itu telah mampu kita wujudkan?

Waspadai Hilangnya Jati Diri

Bangsa Indonesia memiliki tugas untuk melanjutkan cita-cita perjuangan generasi masa lalu. Rencana (tersembunyi) Indonesia Merdeka yang dimiliki Boedi Oetomo memang telah terwujud dalam bentuk kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tapi hakikat kemerdekaan belumlah tercapai. 

Sebagai negara merdeka, mestinya setelah pintu gerbang kemerdekaan dibuka, kebebasan menentukan nasib sendiri, keadilan bagi semua warga, kemakmuran yang merata, dan kesejahteraan bersama dapat dicapai. Sejarah menunjukkan bahwa untuk membuka gerbang kemerdekaan bangsa dibutuhkan kunci yang terbuat dari kumpulan darah dan nyawa para pejuang. 

Namun setelah kemerdekaan tercapai ternyata berbagai bentuk aksi membajak arah bangsa. Sebuah aksi yang tampak seperti kepahlawanan namun sesungguhnya ia hanyalah sebuah adegan tanpa jiwa perjuangan.

Gejala hilangnya jati diri ini telah dikhawatirkan oleh para pendiri bangsa termasuk Soekarno. Mereka khawatir bila bangsa ini kehilangan karakter diri dalam melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Maka sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dijadikan tonggak berdirinya Indonesia. 

Sila itu merupakan kristalisasi dari jiwa perjuangan Boedi Oetomo yang menginginkan pemihakan yang tegas bagi rakyat Indonesia. Jiwa kerakyatan inilah yang sejak berdirinya rezim Orde Baru ditafsirkan secara keliru sehingga rakyat muak setiap kali mendengar Pancasila dan penataran P4. Saat itu nilai-nilai kerakyatan yang dikandung dalam Pancasila direduksi menjadi tafsir tunggal versi penguasa. Akibatnya, ketika rakyat bosan dengan sepak terjang penguasa, serta merta rakyat juga bosan dengan "kerakyatan dan Pancasila". 

Celakanya karena pemerintah memegang kendali sepenuhnya atas pers dan penyiaran di Indonesia, maka masyarakat dicekoki tafsir tunggal Pancasila yang tiada lain adalah tafsir rezim. Pancasila menjadi kurang populer di masyarakat. Masyarakat pun berjalan tanpa karakter. Mereka enggan menerima tafsir penguasa namun tidak kuasa untuk melawan. Gejala itu berlangsung terlalu lama, hingga ketika datang gelombang globalisasi jadilah bangsa ini pribadi yang tak memiliki karakter diri sehingga gentayangan tak bertujuan.

Lawan Globalisasi

Salah satu bukti nyata atas kiprah para pejabat rakyat di negeri ini adalah aksi para penentu kebijakan negeri yang minus karakter kemandirian dan jiwa kerakyatan. Mereka mengajak perusahaan-perusahaan raksasa multinasional yang rata-rata perpanjangan tangan AS untuk ramai-ramai menghisap kekayaan alam Indonesia. Merekalah yang membuat kontrak kerjasama eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang sangat merugikan negara, karena keuntungan terbesar justru diterima perusahaan-perusahaan itu.

Praktek seperti itu berdiri sejak era Orde Baru hingga sekarang. Joseph E. Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi 2001, pernah menyarankan kepada bangsa ini untuk merumuskan ulang kontrak perusahaan-perusahaan itu seperti yang dilakukan oleh Hugo Chavez yang membalik bagian yang diterima negaranya (Venezuela) yang semula hanya 12 % untuk Venezuela dan 82 % untuk perusahaan asing menjadi sebaliknya. Begitu pula yang dilakukan Putin yang mencabut ijin operasi perusahaan asing yang jelas-jelas merugikan Rusia. 

Bahkan Stiglitz mencibir, "Bila pemimpin Indonesia mau, sebenarnya perusahaan-perusahaan itu tak ada alasan untuk menolak. Toh mereka tahu sesungguhnya apa yang mereka lakukan hanyalah merampok". Stiglitz memang dikenal pengkritik tajam neo-imperialisme yang terwujud dalam tubuh IMF, Bank dunia, dan WTO. Mantan petinggi Bank Dunia berhati jernih ini tak bosan-bosannya menyerukan tata ekonomi dunia yang lebih adil bagi negara berkembang.

Nasehat tokoh sekaliber Stiglitz tak akan banyak berarti bagi kebangkitan Indonesia, tanpa aksi nyata para penentu kebijakan negeri ini. Selama mereka masih pemimpin berjiwa vampir, maka mereka tentu lebih takut pada tekanan IMF daripada 200 juta rakyat yang tak bisa bernafas akibat resep yang keliru dari IMF. Bahkan Stiglitz menegaskan bahwa negara-negara yang kebangkitan ekonominya cepat setelah ditimpa krisis adalah negara yang membangkang terhadap IMF. Argentina dan Malaysia adalah contoh nyata. Sayangnya, Indonesia adalah negeri yang paling penurut terhadap IMF yang tiada lain adalah pengawal bagi hegemoni negara-negara maju atas negara-negara berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun