Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Refleksi Kemerdekaan, Menegakkan Kembali Indonesia

18 Agustus 2018   11:30 Diperbarui: 18 Agustus 2018   11:41 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gejala hilangnya jati diri ini telah dikhawatirkan oleh para pendiri bangsa termasuk Soekarno. Mereka khawatir bila bangsa ini kehilangan karakter diri dalam melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Maka sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dijadikan tonggak berdirinya Indonesia. 

Sila itu merupakan kristalisasi dari jiwa perjuangan Boedi Oetomo yang menginginkan pemihakan yang tegas bagi rakyat Indonesia. Jiwa kerakyatan inilah yang sejak berdirinya rezim Orde Baru ditafsirkan secara keliru sehingga rakyat muak setiap kali mendengar Pancasila dan penataran P4. Saat itu nilai-nilai kerakyatan yang dikandung dalam Pancasila direduksi menjadi tafsir tunggal versi penguasa. Akibatnya, ketika rakyat bosan dengan sepak terjang penguasa, serta merta rakyat juga bosan dengan "kerakyatan dan Pancasila". 

Celakanya karena pemerintah memegang kendali sepenuhnya atas pers dan penyiaran di Indonesia, maka masyarakat dicekoki tafsir tunggal Pancasila yang tiada lain adalah tafsir rezim. Pancasila menjadi kurang populer di masyarakat. Masyarakat pun berjalan tanpa karakter. Mereka enggan menerima tafsir penguasa namun tidak kuasa untuk melawan. Gejala itu berlangsung terlalu lama, hingga ketika datang gelombang globalisasi jadilah bangsa ini pribadi yang tak memiliki karakter diri sehingga gentayangan tak bertujuan.

Lawan Globalisasi

Salah satu bukti nyata atas kiprah para pejabat rakyat di negeri ini adalah aksi para penentu kebijakan negeri yang minus karakter kemandirian dan jiwa kerakyatan. Mereka mengajak perusahaan-perusahaan raksasa multinasional yang rata-rata perpanjangan tangan AS untuk ramai-ramai menghisap kekayaan alam Indonesia. Merekalah yang membuat kontrak kerjasama eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang sangat merugikan negara, karena keuntungan terbesar justru diterima perusahaan-perusahaan itu.

Praktek seperti itu berdiri sejak era Orde Baru hingga sekarang. Joseph E. Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi 2001, pernah menyarankan kepada bangsa ini untuk merumuskan ulang kontrak perusahaan-perusahaan itu seperti yang dilakukan oleh Hugo Chavez yang membalik bagian yang diterima negaranya (Venezuela) yang semula hanya 12 % untuk Venezuela dan 82 % untuk perusahaan asing menjadi sebaliknya. Begitu pula yang dilakukan Putin yang mencabut ijin operasi perusahaan asing yang jelas-jelas merugikan Rusia. 

Bahkan Stiglitz mencibir, "Bila pemimpin Indonesia mau, sebenarnya perusahaan-perusahaan itu tak ada alasan untuk menolak. Toh mereka tahu sesungguhnya apa yang mereka lakukan hanyalah merampok". Stiglitz memang dikenal pengkritik tajam neo-imperialisme yang terwujud dalam tubuh IMF, Bank dunia, dan WTO. Mantan petinggi Bank Dunia berhati jernih ini tak bosan-bosannya menyerukan tata ekonomi dunia yang lebih adil bagi negara berkembang.

Nasehat tokoh sekaliber Stiglitz tak akan banyak berarti bagi kebangkitan Indonesia, tanpa aksi nyata para penentu kebijakan negeri ini. Selama mereka masih pemimpin berjiwa vampir, maka mereka tentu lebih takut pada tekanan IMF daripada 200 juta rakyat yang tak bisa bernafas akibat resep yang keliru dari IMF. Bahkan Stiglitz menegaskan bahwa negara-negara yang kebangkitan ekonominya cepat setelah ditimpa krisis adalah negara yang membangkang terhadap IMF. Argentina dan Malaysia adalah contoh nyata. Sayangnya, Indonesia adalah negeri yang paling penurut terhadap IMF yang tiada lain adalah pengawal bagi hegemoni negara-negara maju atas negara-negara berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun