Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ijazah Bung Karno dan Gombalisasi Modernitas

19 Agustus 2018   12:16 Diperbarui: 19 Agustus 2018   12:33 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah seratus tahun bangsa ini menyusuri jalan-jalan terjal kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah saatnya seluruh komponen negeri ini bertobat dan kembali pada jati diri bangsa sebagaimana terkandung dalam Pancasila yang murni dalam arti yang sesungguhnya bukan murni versi rezim Orde Baru. Semangat kerakyatan, kebersamaan, keadilan sosial, dan kemandirian merupakan jati diri bangsa yang terbukti mampu mengusir kompeni. Itulah watak dasar bangsa ini. Bila dengan karakter bangsa kita telah mampu mengusir penjajah, mestinya dengan semangat yang sama kita mampu mengusir dampak negatif globalisasi.

Marilah kita ingatkan mereka yang saat ini mengawal nasib 200 juta rakyat. Kita tidak boleh menghanyutkan diri dalam arus globalisasi yang penuh gombalisasi itu. Kita harus tetap berdaulat dengan negeri kita sendiri yang didirikan oleh nenek moyang kita dengan penuh onak dan duri.

Tugas para pemimpin negeri hanya satu yakni membuat tangis rakyat menjadi senyuman, bukan sebaliknya. Bila para pemimpin adalah anak-anak negeri yang menghayati semangat kebangsaan, maka mereka tidak akan bertindak menyalahi hati nuraninya. Tapi bila mereka telah berubah menjadi pribadi yang hilang jati dirinya, maka mereka akan menghamba pada kekuatan neo-kolonialisme yang berwujud IMF, Bank Dunia, dan WTO itu. Kalau sudah begitu, percuma bangsa ini memiliki negara dan pemerintahan.

Untuk menggambarkan pentingnya jati-diri bangsa, penulis kutipkan perkataan rektor yang mewisuda Bung Karno menjadi sarjana teknik sipil di Bandung. Sang rektor berkata,"Ir Soekarno, ijasah ini dapat robek dan hancur menjadi abu disatu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati." Bila bangsa ini tak kembali kepada karakternya, maka ia akan hancur menjadi abu karena gelombang globalisasi yang penuh dengan gombalisasi itu.

Bangun Etos Kerja Bangsa

Kekayaan bumi sesungguhnya banyak terletak di belahan bumi bagian selatan daripada belahan bumi bagian utara. Indikator yang paling mudah adalah minyak.

Kandungan minyak banyak terletak di bumi bagian selatan. Negara penghasil minyak terbesar dunia adalah Arab Saudi dan Iraq yang keduanya terletak di bumi bagian selatan. Namun demikian, entah mengapa kemakmuran bumi justru terlihat di belahan utara bumi. Negara-negara maju banyak terletak di bumi bagian utara. Sebaliknya negara-negara miskin banyak bertebaran di bumi bagian selatan.

Entah ada kaitannya atau tidak, negara-negara miskin itu kebetulan dihuni oleh penduduk muslim yang jumlahnya mencapai seperlima penduduk bumi (sekitar satu seperempat milyar manusia). Pertanyaan yang pantas muncul adalah mengapa negara-negara yang kaya sumber daya alam itu justru miskin, dan mengapa negara-negara yang miskin sumber daya alam menjadi kaya?

Pertanyaan di atas, bisa dijawab dengan dua kata, yakni etos kerja. Diakui atau tidak, etos kerja bangsa-bangsa selatan memang berbeda dengan bangsa-bangsa utara. Bangsa-bangsa utara memiliki etos kerja yang tercerahkan (enlightened). Segalanya dilakukan dengan penuh perencanaan, target yang jelas, disiplin, dan evaluasi yang tegas sehinga perkembangannya jelas dan terukur. Sementara bangsa-bangsa selatan kurang memperhatikan semua itu.

Mereka lebih mempercayai keajaiban (miracle) atau keterlibatan tangan Tuhan dalam setiap kerjanya. Akibatnya, pencapaian kerja sulit diprediksi dan dievaluasi. Ketidakpastian prosedur dan proses sebuah kerja sering mendominasi. Dampak yang paling tampak adalah resiko dari sebuah kerja jarang diperhitungkan. Tidak jarang segala resiko diserahkan pada faktor nasib.

Etos kerja bangsa-bangsa selatan jelas bukan representasi dari agama mereka. Islam justru mengajarkan etos kerja yang dijalankan bangsa-bangsa utara. Bila kita ingin melihat bagaimana gambaran etos kerja yang dikehendaki Islam, cara yang paling mudah adalah melihat bagaimana etos kerja Nabi Muhammad.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun