[caption caption="dok. internet"][/caption]Teruntuk dia yang selalu ada . Catatan ini aku buat untuk mengabadikan kisah hidup, melengkapi catatan harian. Untuk siapa saja, semoga menjadi hiburan, pengatar tidur, atau pelajaran bahkan mungkin kita punya kisah yang sama sehingga kita bisa merasakan duka ini bersama. Walaupun mungkin dengan masa yang berbeda, luka hati tetaplah akan selalu diingat sepanjang kita masih hidup walau sekadar menjadi bagian sejarah yang telah berlalu.
Menyesal, engkau pernah penjadi orang yang aku puja. Malam itu adalah malam kenangan walau tidak sarat dengan makna yang berarti. Pertama dan terakhir kali. Langkah pastiku terhenti dan terputus begitu saja tanpa selembar pesan walau sekadar ucapan terima kasih. Sebaliknya, justru kau tinggalkan kebencian yang aku lihat pada sebuah pesan dari hari ke hari ketika aku mengabarimu.
Menyesal pula malam itu bunga aku berikan walau sejatinya hanya kebetulan, karena aku ingin berbagi untuk orang di luar agama kita, jika itu menjadi petaka yang telah merusak hubungan kita sebagai parter kerja.
Dari hari ke hari setelah malam itu, engkau seperti orang asing yang menganggapku hanya sebagai manusia tak ‘berguna’. Beberapa kabar yang aku sampaikan menjadi belenggu bagimu, yang membuatku enggan mendapatimu dalam suasana apapun.
Aku selalu berfikir dan berusaha memperbaiki komunikasi dari awal seperti kita baru kenal dan tak ada kecurigaan dari setiap komunikasi yang kita lakukan. Kita adalah tim yang tak seharusnya menyimpan ‘dendam’.
Namun, aku melihatmu tak menyukainya. Dan kecurigaan masih engkau rasakan. Kulihat itu dalam komunikasi kita yang terakhir melaui pesan singkat.
“Han, kamu sudah pulang?”
“Memang kenapa?”
“Tidak apa-apa,” jawabku. “Oh ya, bukumu masih ada di aku ya? kemaren-kemaren aku ingin mengembalikannya tapi kamu bilangnya santai saja. Akhirnya aku jadi lalai, maaf,” lanjutku.
“Kamu taruh saja di Amanat!” Jawabmu.
Benar, engkau pulang kerumahmu di daerah Cirebon. Tapi, dalam waktu dekat engkau akan kembali. Mungkin ada hal penting yang perlu kamu lakukan.
“Oh, begitu. Padahal dari kontrakanku lebih dekat dengan kontrakanmu dari pada ke Amanat. Kenapa kamu menyuruh menitipkannya temanku. Apa tidak saya kembalikan langsung ke kontrakanmu?” jawabku. “Sepertinya kamu takut ketemu aku lagi? santai bro, santai, hehe” tambahku.
Aku ingin membuka suasana. Bercakap seperti dan bercanda seperti biasa dari teman ke teman. Sudah beberapa minggu kita tak bertemu dan sepertinya bukan ketidaksengajaan. Kuharap pertanyaanku engkau jawab dengan terbuka dan penuh candaan pula.
“Nanti aku tak bilang ke mbak kosku. Mau dikembalikan kapan?” jawabmu tanpa ekspresi sedikitpun. Nada kebencian semakin jelas aku merasakannya.
“Sore,” jawabku singkat.
“Ok!” jawabmu
Tibalah sore itu tanpa kabar lagi darimu. Kudatangi kontrakanmu di sebuah perumahan. Kuberikan buku itu kepada salah seorang temanmu yang aku tak mengenalnya.
Buku itu telah aku pinjam beberapa bulan yang lalu. Beberapa kali aku bermaksud mengembalikanya. Telah kutanya, engkau ada dimana saat itu, kapan kembali ke kos saat itu. “Aku ingin mengembalikan buku!” kataku.
“Santai saja,” katamu.
***
Setelah malam itu, kita memang tidak pernah bertemu kecuali beberapa kali dalam acara kumpul bersama di kampus kita kuliah. Di sana, aku hanya melihatmu. Kita tanpa cakap. Setelah itu engkau pergi.
Beberapa kali aku pernah mengajakmu ke suatu acara. Beberapa kali itu engkau tak mau dengan beragam alasan. Tiga kali kau menolak ajakan dan setelah itu aku tak lagi mengajakmu. Bahkan kuhentikan basa-basi melalui pesan singkat denganmu. Balasan tanpa ekspresi yang kugambarkan sebuah kebencian menyadarkanku untuk tak lagi menghubungimu.
Engkau yang ingin dekati lebih intim, ternyata engkau tak menyukainya. Aku telah pergi dari kehidupan ‘memuja’mu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H