Mohon tunggu...
Hari Satiman
Hari Satiman Mohon Tunggu... -

lelaki biasa, suka ternak teri (anter anak anter istri).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kalau Saya Bupati Sidoarjo (2)

5 Agustus 2014   02:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:24 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1407154533302494970
1407154533302494970
1407154577795632827
1407154577795632827
14071546031083655416
14071546031083655416

Sebelum ada Jokowi, saya pernah bermimpi punya bupati (Sidoarjo), yang bisa bangun pagi-pagi, terus mencoba jalan ke arah Surabaya. Ya, kira-kira antara pukul 06.00-08.00 WIB. Boleh pakai motor atau roda empat tapi jangan gunakan pengawal. Kira-kira apa yang akan dilakukan setelah mengalami sendiri ya? Hahahah, itu hanya mimpi.

Pelebaran jalan dengan cara menata tepi jalan kembar arah Sidoarjo-Surabaya, tidak menambah ruang bagi kendaraan. Pelebaran yang sekadar merapikan itu tetap tidak mampu menampung volume kendaraan setiap pagi pada jam sibuk atau sore hingga malam sebelum pukul 21.00 WIB. Macet, benar-benar, terutama dengan membeludaknya pengendara sepeda motor.

Saya empat tahun di Jakarta, sudah mengalami masa-masa macet, jadi tidak ada masalah. Tapi, ketika seorang kawan dari Jerman datang, dan mampir ke rumah, dia terpaksa mengeluarkan kata-kata yang kurang sedap. Padahal, saya sudah menjemputnya dengan sepeda motor, dengan asumsi, lebih mudah berkelit di antara mobil dan truk-truk besar.

"Lalu lintas tidak akan begini, kalau pemerintah setempat mau putar otak, tidak malas dan duduk manis di kursi jabatannya," kata si teman dari Jerman. Ya, maklumlah, Sidoarjo tidak bisa dibandingkan dengan Jerman, apalagi kota Frankfurt tempat  dia tinggal selama ini.

Menurut si teman lagi, kalau dia jadi bupati Sidoarjo, tidak ada salahnya berpikir global. Tiru itu kota-kota di ASEAN, seperti Kuala Lumpur atau Singapura yang berani membuat perubahan. Walau hanya kota kecil, dan kalah 'mungkin' kalah pamor dari Surabaya, tidak ada salahnya, Sidoarjo berkembang lebih modern.

Salah satu contohnya, untuk mengurai lalu lintas, kenapa tidak dibuat sky train seperti di Bangkok, atau monorail seperti di Malaysia. Atau, menghidupkan kembali trem seperti di Surabaya tempo dulu. Kalau memang itu tidak bisa, gandenglah PT Kereta Api Indonesia, membuat double track, Sidoarjo-Surabaya (PP), sehingga mampu menjadi alternatif bagi pekerja yang kerja di Surabaya dan sebaliknya.

"Kamu kan orang Jerman, tidak mungkinlah kamu jadi bupati Sidoarjo," kata saya.  "Lho, saya mau kok, pindah warga negara," tukasnya.

Si teman yang bermimpi jadi bupati Sidoarjo mengatakan, kalau dirinya menjadi bupati, dia akan menghentikan pembelian kendaraan roda dan empat. Minimal membatasi. Setelah itu, menaikkan biaya parkir di mal dan tempat lain, serta mengusulkan pencabutan subsidi bahan bakar. Hanya dengan cara ini, warga bisa 'dipaksa'  naik angkutan publik.

"Bos, Anda itu tidak tahu, di sini susah mengatur angkutan publik. Coba liat, bison itu, kalau di jalan, suka rebutan penumpang. Ngebut di jalan," kata saya. "Ah, kau ini, Jerman juga mengalami itu.  Kalau saya jadi bupati Sidoarjo, tidak ada lagi itu jualan trayek."

Biaya Hidup Mahal

Sidoarjo itu daerah penyangga dari Surabaya. Banyak pendatang yang tinggal dan bekerja di daerah ini. Ya, seperti Bogor dan Depok, untuk Jakarta. Tapi, biaya hidup di Sidoarjo relatif mahal.  Yang kecil-kecil saja, apakah warga dari daerah Cemengkalang dapat dengan mudah mendapatkan transportasi kalau hendak bepergian ke kawasan Lingkar Timur?

Tidak kan? Angkutan umum uang melewati Jl Pahlawan, mentok ke Jl A Yani, untuk kemudian berputar kembali sesuai rutenya. Kalau warga harus bepergian ke Magersari, harus turun di GOR Delta, lalu ganti kendaraan. Tidak ada angkutan umum yang melayani. Apa ini pernah dipikirkan oleh para penjabat dan pemimpin Sidoarjo?

Lebih-lebih, kalau harus ke Lingkar Timur, tidak ada kendaraan sama sekali. Satu-satunya pilihan, yang setiap warga harus punya minimal kendaraan roda dua, atau oper kendaraan berkali-kali untuk menuju ke sana. Ongkos yang dibayarkan lebih besar, karena itu biaya hidup di Sidoarjo mahal. Tingginya biaya ini jelas menopang konsumsi warga, dan ujung-ujungnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Ya, tapi pertumbuhan semu. Tapi, banggalah karena dapat penghargaan untuk itu.

Jadi, kalau si teman ingin menjadi bupati Sidoarjo, ya pantaslah, untuk transportasi saja, banyak yang harus dibenah. Mudah-mudahan, bukan mimpi. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun