Mohon tunggu...
Hari Satiman
Hari Satiman Mohon Tunggu... -

lelaki biasa, suka ternak teri (anter anak anter istri).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Suatu Saat di Kuta Bali

18 Oktober 2014   05:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:36 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JEJAK kaki saya tanpa alas menapak hangatnya butiran pasir Pantai Kuta, Bali. Panas cukup menyengat, padahal sudah pukul 16.00 waktu setempat. Sejauh mata memandang, bibir pantai penuh dengan manusia, sekaligus padat oleh aneka aktivitas. Gila, gumam saya, mereka itu tahan sekali dengan panas. Apalagi, yang bermain dengan papan selancar, saya yakin sudah sejak siang bermandikan air laut.

Bukan hanya aktivitas selancar, Pantai Kuta menampung anak-anak kecil yang membangun istana pasir.  Anak perempuan kecil berambut pirang tertawa lebar ketika istana pasir rontok terkena deburan ombak. Di bagian lain, di atas pasir, berbaring puluhan wisatawan mancanegara, dengan paduan two piecesnya. Santai sembari membaca buku, atau sekadar mengetuk-ngetuk jari ke layar ponsel miliknya.

"Lumpia, lumpia," kata seorang perempuan paro baya, yang tiba-tiba saja sudah duduk di depan saya. "Hanya tujuh ribu saja." Saya mengangguk.  Perempuan itu lantas memotong lumpia dengan gunting, kecil-kecil, ada tambahan penganan lain, entah, seperti ote-ote, kalau orang Surabaya bilang.

14135824431035880713
14135824431035880713

Semua tersaji dalam di lembaran kertas cokelat. Tak lupa, ada petisnya. Tentu saja, rasa petisnya sangat beda dengan petis Surabaya, atau petis Sidoarjo yang kuat di aroma udangnya. Hanya rasa lapar yang membuat saya lahap menikmati penganan ini.

Bermain selancar, keriangan anak-anak, dan para pelaku ekonomi, menjadi kesatuan tak terpisahkan dengan Pantai Kuta. Pantai ini telah menghidupi sekian banyak orang, menarik ratusan ribu wisatawan mancanegara, dan wisatawan Nusantara seperti saya ini. Pantai Kuta tidak tergoyahkan meski Bali sekarang memiliki sejumlah destinasi pantai yang menjanjikan. Kurang lengkap kalau berkunjung ke Bali tanpa menikmati Pantai Kuta.

14135825001420438151
14135825001420438151

Salah satu wonderful Indonesia ini identik dengan sunset (matahari terbenam). Di sejumlah hotel bahkan memberikan catatan waktu di lobi mereka. Misalnya, sunrise (matahari terbit) di Sanur, pukul 05.10, dan sunset di Kuta pukul 18.10. Tapi saya yakin, pantai ini juga telah menjadi saksi bisu segala peristiwa indah, romantis, suka dan duka pengunjungnya.

14135592718122722
14135592718122722

Saya tetap cinta Kuta walaupun baru berkunjung dua kali. Pertama, kurang lebih 20 tahun silam saat masih mahasiswa, dan 1 Oktober 2014, ketika saya memberanikan diri menjadi pejalan mandiri (backpacker) di usia kepala empat. Sungguh, Kuta tetap menawan bagi saya.

Pasirnya putih, ombak yang landai, bule-bule yang berbaring, matahari yang memerah kekuningan saat tenggelam. Lingkungannya bersih juga, karena saya tidak melihat sampah plastik atau kertas, seperti yang saya temui di pantai 'perawan' di Malang, Pacitan, Situbondo dan pantai lain di Jawa Timur.

Enam jam saya menikmati pantai ini. Berjalan hilir mudik, dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Dari suasana terang benderang hingga gelap saat para penjual minuman mencopot payung besar dan mengangkut bir, minuman soda, teh botol dan sebagainya.

"Oktober ini memang lagi ramai, tapi kebanyakan dari luar (negeri)," kata Eno, tukang ojek yang mengantar saya ke Terminal Ubung, Bali, terminal bus untuk membawa saya ke Terminal Gilimanuk.

Pria kelahiran Semarang itu mungkin saja benar. Selama enam jam di Pantai Kuta, sedikit sekali wisatawan Nusantara. Yang banyak  wisatawan dari Australia, Taiwan, Jepang, dan sejumlah negara Eropa, bahkan dari Amerika Latin, seperti Gabriel, yang sempat satu bus dengan saya karena melanjutkan perjalanan ke Kawah Ijen, Banyuwangi.

14135593251631461866
14135593251631461866

Ombak Pantai Kuta di awal Oktober 2014 cukup tinggi tapi tidak terlalu berbahaya. Banyak wisatawan mancanegara yang memanfaatkan untuk belajar surfing (bermain selancar). Tidak sendirian karena terlihat sebagian besar berkelompok, dengan pemandu lokal. Melihat seragamnya dan cara bermainnya, tampak kalau masih pemula di bidang surfing.

Suasana temaram berganti kerlip lampu hotel di seberang Pantai Kuta menyihir saya, membawa saya terngiang sentakan suara Andre Hehanusa :

Bersemi dan tetap akan bersemi
Mewangi dan tetap akan mewangi
Bersama dirimu, walau kini tlah jauh
Kasih.....suatu saat di Kuta Bali

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun